Krisis Qatar Ganggu Kerja Sama Perminyakan di Kawasan Teluk

Logo Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di luar markas OPEC di Wina, 10 Juni 2014. (Foto:Dok)

Pertikaian Qatar dengan empat negara Arab lainnya merembet ke Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Aliansi kuat negara-negara produsen minyak dari Teluk, mulai ambruk dengan cepat.

Seiring dengan makin mendalam pertikaian antara Arab Saudi dan Qatar yang sudah berlangsung selama enam bulan, para menteri dari negara-negara Teluk ini harus menghapus tradisi mengadakan pertemuan tertutup untuk menyetujui sebuah kebijakan, sebelum OPEC melaksanakan pertemuan dua tahunan, sumber-sumber Reuters di OPEC mengatakan.

Dulu ada WhatsApp grup untuk semua menteri dan delegasi dari negara-negara Teluk. Biasanya chatroom itu sibuk sekali. Sekarang senyap,” kata sumber di OPEC.

Empat sumber lainnya mengatakan tidak ada kontak resmi mengenai kebijakan minyak antara negara-negara Arab Teluk yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

Anggota GCC yang juga anggota OPEC adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar. Sedangkan anggota GCC yang bukan anggota OPEC adalah Oman dan Bahrain. OPEC akan mengadakan pertemuan di Wina, pada 30 November, untuk memutuskan apakah akan memperpanjang kebijakan pengurangan produksi setelah Maret 2018.

Tokoh utama OPEC, Arab Saudi, dan UEA memutus hubungan diplomatic dengan Doha pada Juni, dengan tuduhan Qatar mendukung terorisme dan semakin akrab dengan pesaingnya, Iran. Qatar menolak tuduhan itu.

“Para menteri tidak bisa bertemu,” kata sumber OPEC lainnya. “Mereka bisa menyampaikan pesan melalui menteri perminyakan Kuwait atau Oman, namun menteri-menteri Saudi dan UEA tidak bisa bertemu di tempat umum dengan menteri-menteri Qatar.”

Kuwait dan Oman menahan diri untuk tidak memihak dalam pertikaian. Emir Kuwait Sheikh Sabah telah memimpin mediasi regional.

OPEC telah mampu bertahan melalui beberapa krisis terberat dan dalam ketegangan yang lebih besar, termasuk perang Iran-Irak pada 1980an dan invasi Irak ke Kuwait pada 1990.

Namun semua sumber-sumber OPEC mengindikasikan, krisis Qatar tidak akan membatalkan keputusan OPEC untuk memperpanjang pengurangan produksi, yang menaikkan harga, sampai akhir 2018 karena semua produsen setuju untuk mempertahankan kebijakan ini.

Sebagai presiden OPEC pada 2016, Qatar memainkan peranan penting untuk mempersatukan produsen minyak, termasuk negara produsen non-OPEC Rusia, untuk menyetujui kesepakatan pengurangan produksi.

“Jika GCC mati secara politis, aka nada dampaknya kepada kebijakan OPEC. Bukan dalam artian akan mengganggu proses pengambilan keputusan, namun hal ini akan membuat semakin menantang dan rumit,” kata sumber senior di OPEC. [fw/au]