Krisis Rohingya Diperkirakan akan Berlanjut Hingga 2018

Seorang anak pengungsi Rohingya mengangkut kayu bakar di kamp "Burma Para" dekat Cox's Bazar, Bangladesh. Musim dingin telah tiba di sekitar kamp pengungsi dan mengancam para pengungsi akan menderita akibat kedinginan.

Empat bulan berlalu sejak eksodus Rohingya dimulai, setelah dilaporkan terjadi serangan pemberontak terhadap pos polisi Myanmar. Wartawan VOA Steve Sandford berbicara dengan para pengungsi dan pekerja bantuan untuk mengetahui situasi 650.000 lebih pengungsi.

Musim dingin telah tiba bagi 650.000 lebih pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari tindakan brutal pasukan Myanmar dalam empat bulan terakhir.

Pasokan makanan dan tempat berlindung lambat-laun terorganisir, tetapi masa penantian itu lama dan persediaan langka bagi mereka yang memiliki keluarga besar atau lebih dari delapan orang.

Fatima Noor seorang pengungsi mengatakan, "Mereka memberi kami beras 10 atau 12 kilogram, tapi itu tidak cukup. Itu yang diberikan setiap bulan. Tapi saya belum memperoleh lebih dari 10 kilogram beras."

Program Pangan Dunia telah mengirim lebih dari 20.000 metrik ton beras kepada 185.000 rumah tangga, tapi mengakui kiriman bantuan itu tidak cukup.

Shelly Thakral dari WFP (World Food Program) mengatakan, "Kami sebenarnya ingin menargetkan keluarga-keluarga, dan lebih tepat lagi besarnya keluarga, sehingga kami akan mempertimbangkan peningkatan jatah bagi keluarga dengan empat sampai enam anggota keluarga, dan mereka yang berdelapan lebih akan mendapatkan dua kali lipat. Kita perlu menjawab kebutuhan orang-orang yang mengatakan kepada kita, 'kami lapar dan tidak memiliki cukup makanan."

Survei kamp baru-baru ini dari kelompok HAM Doctors Without Borders melaporkan setidaknya 6.700 Rohingya tewas dalam serangan di Myanmar.

Gambar-gambar satelit menunjukkan 40 desa lebih mengalami kerusakan bangunan pada bulan November, sehingga total kerusakan menjadi menjadi 354 desa.

Sementara bukti tersebut bertambah, para pekerja krisis yang paling berpengalaman mengatakan hal itu tidak mengejutkan.

Aservatham dari organisasi NonViolent Peaceforce mengatakan, "Setelah menyaksikan semua situasi traumatis ini, melihat saudara laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu mereka dibunuh di depan mereka dan diperkosa, tidak tepat kalau mereka segera kembali."

Bulan Desember, jumlah total pengungsi di kamp-kamp itu mencapai hampir 860.000, termasuk mereka yang melarikan diri sebelum penindakan keras yang paling baru.

Pengungsi seperti Muhamid Amar tidak menunjukkan tanda-tanda ia siap untuk segera kembali pulang.

"Kami tidak akan kembali ke Myanmar kecuali kami memperoleh hak-hak kami. Jika kami ke sana, mereka akan menebas, membunuh dan menembak kami. Jadi kami tidak akan kembali," kata Amar.

Pemerintah Myanmar sejak lama menolak tuduhan melakukan kekejaman terhadap warga Rohingya, namun tidak jelas kapan atau apakah kelompok minoritas Muslim tersebut bisa kembali. Sementara itu, krisis kemanusiaan di kamp pengungsian kemungkinan akan berlanjut hingga 2018. [my/jm]