Peneliti dari Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia meminta pemerintah memastikan, delapan puluh persen ASN dari OAP tersebut sudah dipersiapkan.
Penelitian menunjukkan, pemerintah daerah di Papua terbebani menggaji ASN yang kurang berkapasitas, dan tidak punya uang untuk membangun sarana fisik
“Dari beberapa riset ke Papua, banyak jabatan yang tidak diisi oleh orang yang berkapasitas. Yang kedua, tidak sesuai dengan formasinya, misalnya formasinya untuk jenjang di level 7 atau S1 misalnya, tetapi diisi lulusan rata-rata SMA. Belum lagi latar belakang yang tidak memenuhi, kebanyakan sarjana sosial, padahal bekerja di dinas yang terkait dengan sains,” kata Alfath kepada VOA, Rabu (29/6).
Maksimalkan Potensi ASN
Untuk menekan pemborosan anggaran gaji ASN, pemerintah pusat harus fokus memberdayakan ASN yang sudah ada di provinsi induk, maupun kabupaten atau kota dalam lingkup provinsi hasil pemekaran. Pengisian setiap posisi harus diperhatikan dengan detil.
“Karena memang posisi ASN di daerah-daerah seperti di pegunungan, itu sebenarnya sudah cukup banyak. Anggaran negara selama ini banyak bocor, justru karena membiayai ASN yang tidak ada di sana, tidak ada di lokasi kerja,” kata Alfath.
BACA JUGA: Dukungan Pemekaran Papua dan Ruang Baru Berebut KekuasaanPenelitian Alfath menunjukkan, hampir 60 persen anggaran milik daerah habis untuk belanja pegawai. Nyaris tidak ada dana tersisa untuk pembangunan fisik daerah. Banyak sumber daya akhirnya tidak dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, terutama di sejumlah wilayah dalam cakupan DOB.
“Ada beberapa daerah yang “tidak normal” jalannya pemerintahan. Kabupaten ada, pemerintah ada, tetapi tidak berfungsi pemerintahannya,” lanjut Alfath.
Selain memaksimalkan potensi ASN yang sudah ada saat ini, pemerintah juga harus melakukan penguatan kapasitas individu dan kelembagaan. Pada tahap awal pembentukan pemerintahan, hanya perangkat daerah vital yang dibentuk. Pilihannya adalah mendahulukan sekretariat daerah, dinas keuangan, badan perencanaan pembangunan dan badan kepegawaian. Dinas yang strategis, seperti pendidikan, sosial dan kesehatan juga prioritas utama.
“Kalau 80 persen tetapi tidak jalan, ya sama saja seperti sekarang. Jadi memang harus ada transfer of knowledge. Karena tidak ada daerah persiapan, dalam kurun waktu misalnya 5 tahun, harus ada transfer of knowledge dari orang yang punya kompetensi ke OAP,” tambahnya.
Menerapkan afirmasi, dengan mempertimbangkan representasi OAP hingga 80 persen di birokrasi daerah hasil pemekaran, dapat dipahami untuk saat ini. Namun ke depan, merekrut ASN berdasar kualifikasi yang tepat, tidak dapat ditawar lagi.
Langkah itu penting, justru agar tujuan memekarkan wilayah, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat Papua, dapat tercapai. Pemerintah harus belajar dari apa yang terjadi saat ini, terutama di wilayah-wilayah hasil pemekaran di periode lalu, di Papua.
Terpenuhi Dalam Lima Tahun
Dalam rapat kerja Komisi II DPR RI, DPD RI dan pemerintah, Selasa (28/6), strategi pengisian ASN di provinsi hasil pemekaran Papua, terus dimatangkan. Salah satu yang senada dengan usulan Alfath di atas adalah paparan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Adi Suryanto. Dia mengatakan, komitmen 80 persen ASN di daerah pemekaran adalah OAP, mungkin butuh waktu hingga lima tahun untuk dapat dipenuhi.
BACA JUGA: Temui Jokowi, Perwakilan Masyarakat Papua Klaim Pemekaran Wilayah Aspirasi WargaAdi menyebut perlu ada dua skenario, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, akan sangat sulit sekali memenuhi kuota ASN 80 persen OAP. Untuk mendidik diperlukan waktu cukup lama, bahkan persyaratan duduk di posisi tertentu hanya bisa diisi setelah ASN berkarier selama setidaknya 16 tahun.
“Untuk itu maka perlu ada skenario, misalnya dalam jangka pendek, agar pemerintah ini bisa bisa terlaksana, diperkenankan atau dimungkinkan bahwa juga kita bisa ambil dari non Papua untuk sementara waktu, jangka pendek. Tetapi setelah kita siapkan mereka, misal dalam waktu 3 tahun atau 5 tahun, baru kemudian 80 persen orang asli ini sudah bisa diberlakukan murni, sambil kita menunggu hasil rekrutmen terbaru,” kata Adi.
Adi juga mengingatkan, di Papua ada masalah dengan 4.160 CPNS yang belum diangkat karena belum mengikuti latihan dasar. Upaya ini tidak dilakukan karena memang tidak diurus dengan baik. Ribuan CPNS itu menumpuk sejak perekrutan mereka pada 2018, dan membutuhkan jalan keluar penanganan.
Butuh 46 Ribu ASN
Mahfud MD, yang bertindak selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) ad interim mengusulkan sejumlah langkah untuk mengisi kebutuhan ASN di wilayah pemekaran. Tiga strategi dilakukan, melalui pemetaan jabatan oleh pemerintah daerah (Pemda) masing-masing, sesuai dengan kuota bagi OAP, yang tersebar pada kementerian atau lembaga dan Pemda. Selain itu juga dengan pengalihan ASN dari daerah induk ke daerah pemekaran dan alokasi formasi baru apabila diperlukan.
“Kami berpandangan bahwa kebutuhan ASN di DOB provinsi Papua, nantinya dapat dipenuhi dari tenaga honorer dan CPNS formasi 2021 dari provinsi Induk, penerima beasiswa S2 Papua sebanyak 434 orang, dan lulusan IPDN periode 2017-2021 sebanyak 487 orang,” ujar Mahfud.
Mahfud menjadi Menteri PAN RB ad interim, karena Menteri PAN RB Tjahyo Kumolo, saat ini sedang menjalani perawatan akibat sakit.
Pemerintah sendiri menghitung, kebutuhan ASN di DOB Papua adalah 46 ribu orang. Dengan komposisi 80 persen Orang Asli Papua (OAP), maka setidaknya harus ada 36.800 ASN yang masuk kategori OAP.
Untuk memberi ruang lebih luas, pemerintah dan DPR bahan setuju menaikkan batas usia yang bisa ditetapkan menjadi ASN di Papua, yaitu bagi CPNS maksimal 48 tahun dan tenaga honorer 50 tahun. Batas maksimal yang selama ini berlaku secara nasional, di luar ketentuan untuk DOB Papua ini adalah 35 tahun.
Your browser doesn’t support HTML5
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej yang hadir dalam rapat ini menyetujui langkah afirmasi tersebut.
“Karena Undang-Undang Otonomi, yang teknisnya ada pada Undang-Undang Pemekaran, dianggap sebagai suatu lex specialis sistematis, ketika kita mencantumkan nanti di dalam undang-undang mengenai batas usia untuk pertama kalinya 50 tahun. Dengan demikian ketentuan yang lainnya tidak berlaku karena itu bersifat einmalig (unik-red) terhadap Undang-Undang Pemekaran ini,” kata Edward memberi alasan.
Persetujuan juga datang dari Kementerian Dalam Negeri, seperti disampaikan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Bahtiar. Hanya saja, dia meminta ada batasan masa berlakunya.
“Kalau kita mau memenuhi 80 persen OAP, dengan dasar hukum yang tersedia, tidak memungkinkan. Jadi kami sangat setuju, jika memang UU ini memberi ruang afirmasi khusus untuk pengangkatan pertama kalinya, maksimal 50 tahun tadi. Dan mungkin ada jangka waktu yang diberikan, ini juga tidak berlaku selamanya,” ujar Bahtiar. [ns/ab]