Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) membuka secara resmi proses rekrutmen CPNS pada 11 September lalu.
Dari hampir 18 ribu posisi itu, terdapat sejumlah jalur khusus dalam penerimaannya. Pemerintah menetapkan bahwa 1.850 lowongan dikhususkan untuk lulusan terbaik atau cum laude, 166 lowongan bagi penyandang disabilitas, serta 196 lowongan untuk pendaftar dari Papua dan Papua Barat. KemenPAN-RB bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, juga sedang menyusun skema penerimaan CPNS bagi pemegang medali kejuaraan yang ditentukan secara khusus.
Pekan lalu di Yogyakarta, MenPAN-RB Asman Abnur menyatakan bahwa pemerintah menjamin rekrutmen ini berlangsung bersih dan transparan. Sistem berbasis komputer disiapkan untuk memastikan bahwa hanya peserta dengan nilai terbaik yang diterima. Secara khusus, Asman Abnur juga menyinggung kuota bagi kaum difabel yang hampir mencapai 1 persen dari jumlah total CPNS yang akan diterima.
“Mereka kelompok difabel, selama ini kan tidak pernah diberi tempat secara khusus. Jadi kali ini kami coba memfasilitasi, tentu untuk mereka yang memenuhi syarat. Ada sistem ranking, tetapi mereka punya jalur khusus untuk menjadi PNS,” ujar Abnur.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mewajibkan negara memberikan kuota 2 persen dalam setiap proses penerimaan CPNS. Dengan 166 posisi dari 17.928 yang diterima, sebenarnya belum ada 1 persen. Namun, kelompok difabel sudah menilai, angka itu merupakan kemajuan yang sangat berarti.
Dalam tahun-tahun sebelumnya, menurut Muhammad Joni Yulianto dari Sigab Indonesia, pemerintah tidak pernah membuat kuota yang pasti bagi difabel. Sigab adalah Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang digerakkan kaum difabel untuk memperjuangkan hak-hak mereka termasuk dalam mengakses pekerjaan.
“Saya kira ada perbaikan, sudah mengarah ke sesuatu yang lebih baik. Dulu tidak ada kuota sebesar itu, sekarang mulai muncul ada angkanya, ada kuota khusus. Bagaimanapun ini harus kita apresiasi,” kata Joni.
Dikatakan Joni, meski kebijakan secara umum cukup baik, pemerintah tidak semestinya mengkotak-kotakkan jenis disabilitas yang dapat melamar di sebuah posisi. Bahkan lebih jauh lagi, seharusnya setiap posisi CPNS terbuka bagi siapa saja, termasuk bagi difabel, meskipun kuota khusus tetap diperlukan. Difabel jangan diarahkan hanya bisa melamar di posisi-posisi tertentu.
Joni juga mendesak pemerintah tidak memaknai disabilitas secara sempit. Misalnya, menentukan bahwa sebuah posisi hanya bisa menerima tunadaksa dan tidak menerima tunarungu atau tunawicara. Pada penyusunan persyaratan semacam itu, kata Joni, pemerintah harus berdialog dengan komunitas difabel sehingga ada jaminan kesetaraan dalam mengakses sebuah posisi.
Prinsipnya, kata Joni, yang lebih penting adalah kompetensi bukan jenis disabilitas itu sendiri.
“Misalnya lowongan di Kementerian Keuangan, dia mendefinisikan sendiri penyandang difabel apa yang diterima dan yang tidak. Menurut kami itu ada unsur diskriminatifnya, karena tidak mendasarkan syarat penerimaan berbasis pada kompetensi," kata Joni.
"Akan lebih objektif jika yang menjadi persyaratan itu adalah kompetensi kerjanya, dan bukan kondisi seseorang. Oke, dia menerima difabel untuk satu posisi, tetapi hanya difabel tertentu. Difabel yang lain sudah langsung dianggap tidak kompeten, padahal itu belum tentu,” ujarnya.
Ishak Salim, Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik) di Makassar kepada VOA juga mengapresiasi keputusan pemerintah. Namun sebelum itu, unit-unit kerja yang akan menerima pegawai dari kelompok ini harus memastikan bahwa lingkungan kerja mereka ramah bagi difabel. Dia bahkan menjanjikan, bahwa kehadiran difabel dalam sebuah unit kerja akan membawa dampak positif. Bekerja di lingkungan yang berbeda, akan membangun kepercayaan diri dan kapasitas difabel itu sendiri.
“Ada banyak perubahan ketika difabel masuk bekerja disitu, mulai dari cara pandang, perlakuan, lalu pegawai lain mulai menyesuaikan diri, menyediakan ramp, mulai berperilaku hormat kepada difabel dan memahami etika disabilitas, dan secara perlahan-lahan mengalami perubahan positif baik bagi pegawai kantor itu sendiri maupun difabel yang diperlakukan secara setara. Saya percaya difabel sudah punya cara untuk beradaptasi dengan suasana baru di tempat kerja,” kata Ishak Salim.
Ishak juga menyarankan unit-unit kerja pemerintah untuk bekerjasama dengan organisasi difabel terkait. Misalnya mereka yang menerima tunanetra, dapat belajar penerapan kebijakan kerja kepada Pertuni dan seterusnya. Dia juga meminta, jika dalam proses rekrutmen kali ini kuota difabel tidak terpenuhi, maka tidak otomatis dikurangi pada periode selanjutnya. Pemerintah juga harus melihat masalah ini jauh ke belakang, misalnya akses pendidikan bagi difabel.
“Harus dipahami bahwa secara umum akses pendidikan dan keilmuan difabel masih terbatas. Jadi mungkin saja, kuota tidak terpenuhi, bukan karena tidak ada yang melamar, tetapi karena persoalan latar belakang pendidikan,” tambah Ishak.
Joni Yulianto dari Sigab juga meminta pemerintah memperhatikan data pendidikan difabel. Jika pada bidang keilmuan tertentu jumlah difabel yang memenuhi syarat cukup banyak, seharusnya kuota di bidang pekerjaan terkait ditambah. Ini untuk menghindari kesan buruk, bahwa kuota tidak terpenuhi karena difabel tidak mau mendaftar. Padahal penyebabnya harus ditarik jauh ke belakang, terutama dalam kesetaraan pendidikan.
Dalam proses rekrutmen CPNS periode sebelumnya, ada 1,14 juta pendaftar dan 19.120 yang diterima. KemenPAN-RB memperkirakan, dalam periode ke-dua ini, jumlah pendaftarnya akan jauh lebih banyak.