Indonesia, seperti banyak negara di dunia, harus bergulat dengan tantangan keterwakilan perempuan dalam politik. Reformasi tahun 1999 memberi angin segar dengan diterapkannya sejumlah kebijakan untuk mendorong kondisi ideal.
Hetifah Sjaifudian adalah salah satu politisi perempuan yang merasakan buah perjuangan panjang itu. Politisi Partai Golkar yang tiga periode terpilih ke Senayan itu, kini duduk sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Dari 575 anggota DPR periode 2019-2024, sejumlah 20,8 persen merupakan politisi perempuan. Jumlah ini naik sekitar tiga persen dari periode sebelumnya, tetapi masih kecil karena banyak tantangan dihadapi.
“Kami harus menghadapi tantangan di sisi demand, yaitu terkait pemilih dan el ktorat begitu juga di sisi supply, dalam hal ini partai dan kandidat. Inilah yang membuat kuota berdasarkan gender memiliki hasil yang positif, tetapi tidak seefektif seperti yang kita harapkan sebelumnya,” kata Hetifah.
Paparan itu disampaikannya dalam diskusi “Women, Policy and Political Leadership Regional Perspectives.” Diskusi diselenggarakan Konrad Adenauer Stiftung dan Asian Women Parliamentarian Caucus, Senin (18/1) sore.
Tantangan Dua Sisi
Hetifah menilai, Indonesia memiliki kemajuan yang drastis sejak reformasi. Pada 1999, Indonesia hanya memiliki sembilan persen perwakilan perempuan di parlemen dan saat ini telah mencapai 20,8 persen. Kenaikan itu tentu diperoleh melalui berbagi upaya. Pada 2004, Indonesia meminta setiap partai sukarela menempatkan 30 persen kandidat perempuan pada pemilu. Jumlah itu kini ditetapkan sebagai kewajiban. Saat ini, partai juga wajib menempatkan satu calon perempuan dalam urutan 1-3 daftar kandidat, dengan harapan kemungkinan terpilih cukup besar.
Meski begitu, tantangan masih dihadapi karena sikap sejumlah pemiih yang masih bias gender. Kondisi ini membuat penempatan calon perempuan di nomor atas, tidak menaikkan kemungkinan terpilih.
“Pertanyaan yang masih ada adalah, apakah partai memberi kepercayaan yang cukup bagi politisi perempuan untuk ditempatkan di posisi dan daerah pemilihan yang strategis. Juga, apakah ada cukup perempuan kompeten yang bisa ditempatkan pada posisi ini,” lanjut Hetifah.
Seperti apapun tantangannya, kemajuan yang ada patut dicatat. Indonesia kini memiliki Ketua DPR perempuan, dan dua Ketua Komisi yang juga perempuan. Di kabinet, juga ada 6 menteri perempuan yang sejauh ini menunjukkan prestasi membanggakan. Politisi perempuan di Indonesia juga membentuk kaukus untuk bekerja sama dan meningkatkan kapasitas. Dengan dukungan lembaga nonpemerintah dan akademisi, setidaknya sudah ada 663 anggota parlemen perempuan pusat dan daerah dari lebih 30 provinsi di Indonesia yang mengikuti berbagai pelatihan sejak 2015.
Minim Keterwakilan di Maladewa
Di Maladewa, upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan juga terus dilakukan. Wakil Ketua DPR Maladewa, Eva Abdulla menyebut ada banyak alasan perlunya lebih banyak perempuan di parlemen. Alasan yang paling mudah disampaikan adalah bahwa perempuan mewakili setidaknya separuh populasi. Selain itu, ada banyak bukti bahwa kehadiran perempuan dalam politik membawa dampak positif bagi masyarakat. Sayangnya, alasan alasan itu tidak membuat perjuangan ini menjadi lebih mudah.
“Saya menjadi contohnya. Saya adalah satu dari hanya empat anggota parlemen di Maldives. Kami memiliki 87 anggota parlemen secara keseluruhan, tetapi hanya ada 4 perempuan dan sayangnya kondisi itu sudah ada sejak setidaknya 15 tahun terakhir,” kata Eva.
Politisi perempuan, lanjut Eva, harus terus berjuang di tengah berbagai kesulitan seperti masalah keuangan, rendahnya dukungan publik, bias gender, kurangnya dukungan keluarga, budaya kekerasan politik, dan mungkin penolakan berdasar agama. Ia berharap politisi perempuan di berbagai negara tetap fokus pada perjuangan, karena masyarakat dan parlemen membutuhkan perempuan yang jujur, kuat, dan memiliki kemampuan.
“Yang perlu dilakukan adalah terus bersuara, melakukan perubahan hukum dan politik, menciptakan lingkungan dan sistem pendidikan yang mendukung perjuangan itu,” lanjut Eva.
Upaya Luas Biasa Bangladesh
Bangladesh merupakan salah satu negara yang patut diperhatikan dalam upaya peningkatan peran perempuan dalam politik. Waseqa Ayesha Khan, anggota parlemen Bangladesh menyebut, negara itu ada di urutan 91 dalam Global Gender Gap Indeks tahun 2006. Pada 2020 lalu, Bangladesh naik hingga ke posisi 50.
Menurut Waseqa, prestasi itu membutuhkan kepemimpinan yang bervisi, membangun jaringan dan kebijakan yang tepat. Kebetulan Bangladesh dipimpin seorang perdaan menteri perempuan, yaitu Sheikh Hasina.
“Keterlibatan perempuan dalam level komunitas dan level pemerintah daerah telah benar-benar membuat perubahan. Ada lebih dari 13 ribu perempuan terpilih dalam level pemerintah lokal dan ada hampir 21 persen representasi perempuan di parlemen,” kata Waseqa.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia meyakini, tantangan bagi perempuan di sektor politik relatif sama di seluruh dunia. Bangladesh menjawab tantangan itu, antara lain dengan menetapkan kuota bagi perempuan dalam pemilihan umum. Namun, jalan keluar juga dirintis melalui sektor pendidikan. Ada kebijakan di mana orang tua yang mengirimkan anak perempuannya ke sekolah, akan mendapatkan insentif. Bangladesh juga menetapkan kebijakan pembangunan perempuan nasional pada 2011. Seluruh kebijakan kementerian, juga ditetapkan dalam anggaran yang responsif gender.
Timor Leste dan Kuota Khusus
Anggota parlemen dari Timor Leste, Elvina Sousa mengaku menikmati keuntungan dari berbagai perubahan aturan yang dimungkinkan setelah negara itu merdeka. Dia mengatakan, Timor Leste adalah sebua negara baru yang memiliki budaya patriarki sangat kuat. Karena itulah, sebagai politisi perempuan dan masih muda, Elvina mengaku menghadapi tantangan berat.
“Kami memiliki konstitusi yang memberikan kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam politik, ekonomi dan budaya. Dan kami juga memiliki aturan yang memberikan keuntungan dan ruang lebih, saya dan generasi saya saat ini sangat beruntung karena kami merasakan manfaat dari sistem dan aturan yang ada,” ujarnya.
Saat ini hampir 40 persen anggota parlemen di Timor Leste adalah perempuan dan tercatat yang tertingg di Asia Tenggara. Menurut Elvina, ini adalah buah dari sistem kuota khusus bagi perempuan, sehingga negara itu mengalami perubahan yang positif dan progresif dalam isu ini. [ns/em]