Salah satu isu yang dibahas dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan dalam perkawinan. Karena begitu banyak dampak buruk kawin paksa, KUPI memutuskan wajib hukumnya melindungi kaum hawa dari bahaya kawin paksa.
Menurut Anggota KUPI Umdah el-Baroroh, Selasa (7/3), ada beberapa hal yang mendasari KUPI untuk mengangkat tema kawin paksa. Kasus kawin paksa masih menjadi budaya yang cukup tinggi di kalangan masyarakat.
Data putusan Mahkamah Agung selama 2018-2022 menunjukkan terdapat 213 kasus pernikahan bermasalah akibat pemaksaan perkawinan. Dari jumlah ini, 119 perkara diputus dengan perceraian oleh pengadilan agama. Sedangkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi kenaikan 300 persen atas kasus kawin paksa seiring dengan meningkatnya kasus pernikahan anak.
Umdah menekankan data dari kedua institusi itu bukan fakta sebenarnya karena banyak kasus kawin paksa tidak dilaporkan ke lembaga terkait.
Kasus kawin paksa di Indonesia makin rumit diatasi karena diperkuat beberapa faktor, yakni budaya, tafsir, agama, dan regulasi negara yang memberi peluang legitimasi kawin paksa. Padahal Islam melarang kawin paksa sesuai dalil yang ada dalam Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad.
"Karena itu, musyawarah keagamaan KUPI memutuskan hukum melindungi perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan adalah wajib. Begitu juga meminimalisir dampak buruk yang dialami perempuan korban pemaksaan perkawinan, termasuk membuat peraturan perundang-undangan yang mampu memberi jaminan atau sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan adalah wajib," kata Umdah.
Your browser doesn’t support HTML5
Umdah menjelaskan pemaksaan perkawinan memiliki banyak dampak buruk yang sistemik. Kawin paksa dapat mengancam keselamatan jiwa perempuan, seperti trauma psikis, depresi, stigma negatif, perceraian, konflik keluarga, perselingkuhan, pengucilan sosial, hingga bunuh diri akibat putus asa.
Kawin paksa juga berdampak pada fungsi reproduksi perempuan, seperti kekerasan seksual dalam perkawinan melalui pemaksaan hubungan intim. Kawin paksa mengancam putusnya pendidikan perempuan. Pemaksaan perkawinan juga menyebabkan penelantaran dan rapuhnya ekonomi yang mengancam keutuhan keluarga.
Komisioner Komnas Perempuan, Wanti Mashudi menjelaskan salah satu penyebab terjadinya kasus pemaksaan perkawinan adalah faktor budaya di beberapa wilayah.
"Tetapi kalau kemudian kita telusuri lebih lanjut, bahkan lembaga adat setempat mengatakan praktek itu sebenarnya termasuk yang tidak terdapat di dalam adat. Dia ada tapi ada sedikit "penyalahgunaan" yang dilakukan oleh orang-orang yang memang berkeinginan mengawini perempuan tersebut tetapi perempuan itu tidak ingin menikah dengan laki-laki itu," ujarnya.
Terkadang di beberapa daerah terjadi kasus seorang perempuan terpaksa menikah karena bagi masyarakat setempat dia sudah diberi stigma, yakni ketika dia sudah diculik atau disekap, pasti sudah terjadi hubungan seksual.
Selain itu, polisi tidak akan menindaklanjuti laporan soal kasus kawin paksa karena polisi menganggap sebenarnya sudah ada persetujuan dari pasangan tersebut dan bagian dari budaya.
Wanti menambahkan Komnas Perempuan memiliki mandat menangani kasus kawin paksa yang melibatkan perempuan berumur di atas 18 tahun. Sedangkan penanganan kasus kawin paksa anak perempuan di bawah usia tersebut menjadi mandat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Ia menegaskan bahwa kasus kawin paksa yang merampas kemerdekaan perempuan, bisa dipidana. Masalah pemaksaan perkawinan juga diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kejahatan Seksual. Undang-undang Perkawinan juga mengatur bahwa pernikahan dilakukan berdasarkan persetujuan kedua mempelai. [fw/ka]