Wali Kota Surabaya Tru Rismaharini meresmikan Museum Pendidikan di Surabaya, yang memamerkan berbagai benda bersejarah di bidang pendidikan, dan diorama yang menampilkan bagaimana sejarah awal mula pendidikan terbentuk.
Pada Museum Pendidikan ini, dipajang 860 koleksi yang berkaitan dengan pendidikan masa lampau hingga masa kini, seperti sabak atau papan dari batu yang berfungsi sebagai buku untuk menulis, diorama sejarah awal mula aksara, hingga berbagai buku pelajaran sekolah dan ijazah pada masa lalu hingga kini. Risma berharap keberadaan Museum Pendidikan ini juga menjadi media belajar bagi generasi muda masa kini, untukmemahami pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa.
“Gedung ini sebetulnya sudah punya sejarah karena sebelumnya adalah gedung Taman Siswa. Jadi, karena itu kita fungsikan sebagai Museum Pendidikan. Dan kita punya banyak koleksi tentang pendidikan masa lampau. Jadi karena itu, ini kita jadikan untuk alat pendidikan juga untuk anak-anak, supaya mereka tahu bahwa dulu pendidikannya seperti ini, dan tidak mudah orang bisa sekolah,” jelas Tri Rismaharini.
Your browser doesn’t support HTML5
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyebut tantangan di bidang pendidikan saat ini tidak hanya mengenai persaingan antar kota, melainkan sudah menjadi persaingan antar negara. Pada peringatan Hari Guru Nasional, Risma mengajak para guru mempersiapkan diri dan juga anak didik mereka untuksiap menghadapi persaingan global.
“Tantangan guru dan kami dari pemerintah itu sangat berat karena tahun 2020 kita semua tahu bahwa WTO sudah berjalan, artinya anak-anak kita sudah tidak bersaing misalkan anak Surabaya dengan anak Jakarta atau anak Semarang, tetapi anak-anak Surabaya akan bersaing dengan anak-anak di seluruh dunia, karena itu kita harus persiapkan dengan betul supaya anak-anak tidak jadi penonton di kota atau di negara kita sendiri,” kata Tri Rismaharini.
Praktisi dan pengamat pendidikan, Muliani Tedjokusumo menyebut persoalan pendidikan di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari kurikulum yang mengatur arah pendidikan nasional tersebut. Pemerintah kata Muliani, harus memastikan kurikulum yang baku dan tidak sering berganti-ganti, yang menekankan pada kebutuhan dunia kerja saat ini.
“Kurikulum sekarang ini kan monoton tentang teori ya, banyak teorinya, terus kurikulum yang berubah-ubah juga. Jadi sekarang jangankan guru, orang tua murid itu pada bingung, tidak ada sistem atau kurikulum yang baku. Nah, lebih banyak praktek jadi tidak teori saja,” jelasnya.
Selain masalah kurikulum, Muliani juga menyoroti persoalan kesejahteraan guru yang menjadi ujung tombak kemajuan di bidang pendidikan nasional. Pemerintah didesak untuk memperhatikan guru honorer dan guru tidak tetap yang masih belum sejahtera, karena gaji atau pendapatan yang diperoleh mereka tidak layak.
“Sekarang ini kan banyak guru yang belum sejahtera, banyak juga yang guru-guru honorer itu, jadi mereka itu harus disejahterakan. Itu kalau guru itu sudah sejahtera otomatis mereka itu semangat untuk mengajar, mendidik, sudah pasti tidak seperti sekarang ya. Mereka (guru) kadang-kadang juga terpaksa mencari tambahan dengan memberi les dan sebagainya, sehingga fokus mengajar itu tidak yang di sekolah,” lanjut Muliani Tedjokusumo.
Meski persoalan kesejahteraan guru masih menjadi pekerjaan serius yang harus diselesaikan, namun Risma mengaku tingkat kesejahteraan guru di Surabaya masih lebih baik dibandingkan kota lain.
“Untuk kesejahteraan guru saya rasa kalau di Surabaya lebih baiklah dibandingkan daerah lain ya,” komentarnya. [pr/ab]