Setelah seorang penjual es di Pekalongan tertangkap tangan ketika mencuri susu bayi Februari lalu, awal bulan ini dua ibu di Blitar ditangkap ketika mencuri susu bayi dan minyak kayu putih untuk buah hati mereka. Dalam kedua kasus, pelaku pencurian mengaku terpaksa mencuri karena ingin memenuhi kebutuhan dasar bayi dan anak mereka.
Dan dalam kedua kasus, pelaku pencurian dibebaskan setelah polisi dan pemilik toko memaafkan dan menarik gugatan hukum atas dasar kemanusiaan. Dukungan netizen yang memohon pembebasan keduanya di media sosial juga menjadi kekuatan yang efektif memberi “tekanan” kepada pihak berwenang untuk mengambil jalur damai.
Ketua Yayasan Sarinah Eva Sundari kepada VOA memuji gerak cepat netizen yang ikut mendorong penyelesaian kasus ini secara kekeluargaan, tetapi “ini harus menjadi tamparan bagi kita karena hukum telah kehilangan roh-nya, yaitu keadilan.”
Menurut mantan anggota DPR dari PDI-Perjuangan ini kondisi kemiskinan saat dan pasca pandemi harus menjadi perhatian serius pemerintah karena terbukti “bansos dan program-program lain yang dibuat tidak bisa menjawab kebutuhan keluarga miskin, misalnya keperluan bayi atau orang difabel, dan bahkan sudah sepatutnya pula pemerintah memperluas perlindungan sosial yang lebih responsive-gender.”
Tanggapan Jaminan Sosial Mismatch
Namun sebelum menjawab tuntutan semacam itu Guru Besar Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono mengatakan harus dilihat terlebih dahulu kondisi kemiskinan yang ada, yang di Indonesia ditandai dengan “corak seasonal poverty atau kondisi kemiskinan yang berubah pada musim-musim tertentu, aspek banyaknya petani buruh, dan situasi beralihnya secara berangsur-angsur wilayah pertanian menjadi wilayah industri, khususnya di Blitar di mana komposisi pertanian semakin kecil sekali.
Menurut Bambang Shergi, ada mismatch atau ketidaksesuaian antara kondisi kemiskinan itu dengan respon sistem jaminan sosial yang umumnya “berbasis pada pelaksanaan desain proyek tahunan yang dilaksanakan berdasarkan kuota proyek, atau jumlah orang, atau beneficiaries.”
Lebih jauh pakar kebijakan kesejahteraan sosial ini menjabarkan bagaimana “kuota” atau jumlah penerima bantuan sosial itu ditetapkan berdasarkan jadwal implementasi jaminan sosial yang penilaian atau assessment-nya bersifat top-down, atau dilakukan oleh petugas pusat yang turun ke bawah, dan kemungkinan besar justru tidak dapat menjaring orang-orang yang sesungguhnya dapat “dijaring oleh social safety net yang ada dan memang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan memberi perlindungan sosial,” ujar Bambang Shergi.
PKH Tak Dapat Jangkau Semua Warga Miskin
Mantan Dekan FISIP UI ini mencontohkan satu program jaminan sosial yang paling mendapat banyak perhatian yaitu Program Keluarga Harapan PKH. “Ada proyek yang paling notable yaitu Program Keluarga Harapan PKH. Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan PKH yaitu punya anak yang masih dalam usia sekolah dan ibu hamil yang mengharuskan mereka memeriksakan kandungan ke puskesmas; jika memenuhi kedua syarat ini maka berhak dapat PKH. Tapi jika kita bicara soal seasonal poverty dan perburuhan tadi, mungkin mereka tidak masuk dalam safety net yang digelar pemerintah.”
Pemerintah, tambahnya, sebenarnya ingin memperluas PKH yang ditargetkan dapat menjangkau 10 juta orang. “Tapi database-nya tetap jadi polemik publik karena data sosial yang dimiliki di pusat dan daerah (DTKS) tidak sama. Karena sifatnya top-down dalam proses assessment-nya, jadi survei dari petugas pusat yang turun ke bawah; bukan self-assesment dan request. "
"Jika di negara maju khan subyek yang datang ke kantor jaminan sosial untuk mendaftarkan diri; tadi di Indonesia tidak begitu. Ini assessment dari atas berdasarkan kuota, bukan warga yang melapor pada local welfare unit di wilayahnya. Terutama juga karena kebanyakan warga kita berada di sektor informal yang tidak terdaftar atau dalam konteks ini warga negara yang belum memiliki hak universal, karena belum ada universal social safety net di Indonesia,” imbuhnya.
AS Masih Terus Kembangkan Program Jaminan Sosial
Sebagai perbandingan, jaring pengaman sosial di Amerika mencakup beragam program untuk melindungi warga berpendapatan rendah dari kemiskinan. Beberapa program dimaksud antara lain Bantuan Sementara Untuk Keluarga Yang Membutuhkan atau Temporary Assistance to Needy Families TANF, Program Bantuan Nutrisi Tambahan atau Supplemental Nutrition Assistance Program SNAP, kredit pajak penghasilan (bagi warga miskin) atau earth income tax credit EITC, Medicaid, dan Program Makanan Tambahan Khusus Untuk Perempuan, Bayi dan Anak-Anak atau Special Supplemental Food Program for Women, Infants and Children WIC.
Semua program ini diberikan dalam bentuk pembayaran transfer non-kontribusi dan/atau kupon yang dapat digunakan warga berpendapatan rendah di toko-toko eceran yang ditunjuk. Semua jaring pengaman sosial ini memiliki koneksi dan dampak positif pada pendidikan, kesehatan dan ketahanan pangan, juga untuk meningkatkan kemampuan masing-masing rumah tangga warga untuk menghasilkan pendapatan yang dapat memberi dampak positif pada ekonomi keluarga dan masyarakat setempat.
Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono mengatakan sejauh ini program jaminan sosial yang dikembangkan di Indonesia masih difokuskan pada kelompok difabel dan lansia, belum dikaitkan dengan gender “karena dinilai masih belum terlalu kuat menjadi kriteria sendiri dalam konteks kemiskinan.”
Dalam kedua kasus pencurian susu di Pekalongan dan Blitar, yang juga patut disorot adalah perubahan peran yang dimainkan polisi, yang kini bersikap lebih akomodatif dan mengedepankan pendekatan kekeluargaan dibandingkan pendekatan hukum. [em/lt]