Putra seorang penambang batu bara, Lai Ching-te di Taiwan, Senin akan mengambil alih kepemimpinan sebagai presiden pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu, dan bertugas mengatasi keretakan yang semakin besar dengan China yang semakin agresif.
Lulusan Universitas Harvard berusia 64 tahun itu meraih kursi kepresidenan pada pemilu bulan Januari lalu dengan janji ia akan membela demokrasi Taiwan dan menolak klaim Beijing atas pulau tersebut.
Lai mengatakan kemenangannya, yang menghasilkan masa jabatan ketiga berturut-turut bagi Partai Progresif Demokratik (Democratic Progresive Party/DPP) yang belum pernah terjadi sebelumnya, merupakan pesan yang jelas kepada China bahwa Taiwan “menolak otoritarianisme.”
BACA JUGA: Tantangan Dalam dan Luar Negeri Pascapemilu Presiden Taiwan“Demokrasi kita terus-menerus berada di bawah tekanan disinformasi asing, ancaman militer, dan paksaan ekonomi,” kata Lai pada pertemuan baru-baru ini.
“Pemaksaan China hanya memperkuat tekad kami untuk tetap demokratis dan bebas. Kami menolak untuk tunduk pada rasa takut,” tambahnya.
Lai telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan Presiden Tsai Ing-wen yang sudah habis masa jabatannya dalam membangun kemampuan militer Taiwan sebagai pencegahan terhadap potensi invasi dari China.
Namun sikap blak-blakan Lai – yang ia tingkatkan dalam beberapa tahun terakhir – telah memicu kemarahan Beijing.
China menganggapnya sebagai “pekerja keras kepala” untuk kemerdekaan Taiwan dan “penyabot perdamaian,” dan memperingatkan bahwa politisi yang bersuara lembut tersebut akan menjadi penyebab “perang dan kemunduran” di pulau itu. [lt/uh]