Staf Advokasi KontraS Andi Rizaldi mengkritik tindakan polisi yang mempidanakan orang dengan pasal penghinaan terhadap penguasa di tengah wabah Covid-19. Menurutnya, polisi tidak dapat secara langsung mempidanakan seseorang yang dinilai menghina penguasa. Sebab, pada 2006, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pasal penghinaan penguasa ini sebagai delik aduan. Karena itu, tanpa ada pengaduan dari pejabat tersebut, polisi tidak dapat memproses kasus itu lebih lanjut.
Andi mencatat setidaknya ada empat orang yang dipidana di berbagai daerah setelah Kapolri mengeluarkan telegram yang berisi pasal penghinaan penguasa atau presiden. Kasus tersebut terdiri dari dua kasus di Jakarta, satu kasus di Kepulauan Riau dan satu kasus di Jawa Tengah.
"Baiknya negara itu fokus menyelamatkan nyawa banyak orang terkait wabah COVID-19. Daripada fokus menyelamatkan citra atau muka pemerintah yang sebetulnya hari ini belum cukup baik menangani wabah COVID-19," tutur Andi kepada VOA, Selasa (14/4).
Andi menilai tindakan polisi ini telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan bertentangan dengan konstitusi yang memberikan jaminan kepada seseorang untuk bebas berpendapat. KontraS membuka pengaduan bagi masyarakat yang merasa dikriminalisasi dengan pasal penghinaan terhadap presiden dan penguasa di tengah wabah Covid-19.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin juga menyayangkan terbitnya instruksi Kapolri soal penggunaan pasal penghinaan terhadap penugasan yang dapat memberangus kebebasan berekspresi atas nama penindakan ujaran kebencian dan informasi bohong. Selain itu, kata Ade, surat telegram Kapolri juga menegaskan sikap anti-kritik pemerintah dalam merespons keluhan dan keresahan publik terkait penanganan corona.
Your browser doesn’t support HTML5
"Adanya instruksi tersebut, alih–alih memberantas berita bohong, justru malah berpotensi menghambat segala bentuk penyampaian informasi penting dan berimbang kepada publik," tutur Ade.
Ade meminta kepolisian meninjau ulang penegakan hukum terkait opini yang dianggap informasi bohong dengan muatan penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara dalam surat telegram Kapolri.
Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam juga berpendapat seseorang yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah tidak dapat dipidanakan. Kendati demikian, Anam mengaku belum mengetahui secara jelas kasus yang menjerat empat orang terkait penghinaan penguasa tersebut.
"Secara umum, orang melakukan kritik kebijakan tidak boleh dihukum. Itu keputusan Mahkamah Konstitusi jelas itu. Pasal-pasal yang ada di KUHP juga sudah tidak berlaku," jelas Anam dalam konferensi video, Selasa (14/4).
Hanya, kata Anam, dalam konteks hak asasi manusia, ada pembatasan ekspresi seseorang yang berkaitan dengan penghinaan, penyerangan kehormatan dan siar kebencian. Lebih lanjut, kata Anam, ekspresi seseorang juga dapat dihukum jika merendahkan ras orang lain.
Anam juga menyoroti maraknya informasi bohong atau hoaks yang beredar di masyarakat saat pandemi corona. Menurutnya, penindakan hukum yang dilakukan polisi terkait kasus hoaks ini sudah tepat.
Juru bicara Polri, Argo Yuwono tidak mau menanggapi soal penindakan hukum terhadap empat orang dengan pasal penghinaan presiden atau penguasa. Namun, melalui konferensi video pada Selasa (14/4), ia mengatakan polisi akan mengedepankan upaya pencegahan sebelum melakukan tindakan hukum.
Awal April lalu (4/4), Kapolri Jenderal Idham Azis telah menerbitkan lima surat telegram sebagai panduan personelnya dalam menangani kasus hukum di tengah wabah corona di Indonesia. Salah satunya adalah telegram tentang perkara kejahatan siber dengan muatan penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah. [sm/em]