Laporan: Korban Kekerasan Seksual di Kenya Masih Menderita

Jaqueline Mutere, 48, diperkosa pada bulan Desember 2007 oleh seorang pria yang ia kenal, Ia memulai Grace Agenda, sebuah organisasi berbasis komunitas untuk membantu korban kekerasan seksual.

Laporan baru Human Rights Watch yang dikeluarkan hari Senin (15/2) menyatakan ratusan perempuan dan anak perempuan masih menanggung bekas luka fisik dan mental akibat kekerasan seksual yang terjadi setelah gejolak pasca-pemilu di Kenya tahun 2007 dan 2008.

Human Rights Watch mengatakan sekitar 900 perempuan dan anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual pasca pemilu dan tampaknya banyak kasus yang tidak dilaporkan. Kelompok itu mengatakan kurangnya perhatian medis membuat banyak korban tidak bisa bekerja atau melanjutkan pendidikan, dan terjebak dalam kemiskinan.

Agnes Odhiambo, peneliti senior Human Rights Watch, yang khusus meneliti hak-hak perempuan di Afrika, mewawancarai beberapa korban yang selamat dan mengatakan, "Sejumlah perempuan menderita begitu banyak luka–luka di bagian punggung, kaki dan dada, karena perkosaan itu berlangsung sangat brutal. Termasuk tendangan, tamparan, memotong bagian-bagian tubuh dengan parang dan menarik kedua kaki korban kearah yang berlawanan."

Odhiambo mengatakan sejumlah korban menderita secara mental.

"Ada perempuan yang tidak bisa tidur selama bermalam-malam, tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaan, dan ingat mereka tidak saja menjadi korban perkosaan, tetapi juga seperti korban aksi kekerasan pasca-pemilu lainnya, mereka kehilangan rumah, orang-orang yang dicintai, suami, anak dan lain-lain," ujarnya.

Odhiambo mengatakan banyak korban diperkosa beramai-ramai oleh empat hingga sedikitnya sepuluh laki-laki, kadang-kadang di depan anggota keluarganya, termasuk di depan anak-anak kecil, dan diasingkan oleh suami atau komunitas mereka. Beberapa perempuan tertular penyakit kelamin, menjadi hamil atau keduanya.

Karena aborsi illegal di Kenya, bahkan dalam kasus perkosaan sekali pun, maka sebagian perempuan melakukan apa yang disebut sebagai "aborsi ilegal" yang membuat mereka menderita kerusakan organ dalam yang sangat parah. Mereka yang memutuskan melanjutkan kehamilan menghadapi penganiayaan tambahan dan diskriminasi, demikian pula anak-anak mereka.

Apabila perempuan melaporkan mereka diperkosa, polisi minta merekauntuk mencari pelaku dan membawanya ke polisi, atau akan dituduh berbohong demi alasan politik.

Pemerintah Kenya mengakui terjadinya perkosaan pasca pemilu tahun 2007 dan 2008 tetapi tidak memberi bantuan apapun kepada para korban. Human Rights Watch mendesak pemerintah menggunakan anggaran khusus sekitar 9,8 juta dolar yang diumumkan Maret 2015 lalu untuk membantu para korban, terutama mereka yang sangat membutuhkan layanan medis dan psikososial. [em/ii]