Hampir setiap hari media-media di Indonesia, baik media mainstream maupun media sosial, memberitakan konflik Rusia-Ukraina. Mulai dari invasi Rusia 24 Februari, upaya warga Ukraina mengungsi ke negara-negara tetangga, beragam cara dunia mencegah Rusia memperluas serangan, tudingan kejahatan perang yang dilakukan pasukan Rusia terhadap warga sipil Ukraina, hingga dukungan moril dan materil pada warga Ukraina. Keputusan yang diambil di ruang sidang PBB dan NATO, pidato Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kongres Amerika dan beberapa parlemen negara lain, hingga dukungan para selebriti di Grammy Awards atau “Stand Up for Ukraine” menjadi berita utama siang dan malam.
Yang menarik tidak sedikit laporan-laporan yang disampaikan menunjukkan kecenderungan dukungan pada tindakan Rusia menginvasi Ukraina. Pakar atau pejabat yang setuju dengan invasi Rusia ke Ukraina laku keras, mengisi layar kaca atau lembaran koran dan majalah hampir setiap hari.
BACA JUGA: Zelenskyy Peringatkan Operasi Rusia yang Lebih Besar di Ukraina TimurDiwawancarai VOA melalui telpon akhir pekan lalu, pakar komunikasi politik di Universitas Airlangga, Prof. Dr. Henry Subiakto menyebut beberapa faktor yang melatarbelakangi hal itu, antara lain karena keterbatasan akses pada laporan langsung dari Rusia dan Ukraina sehingga membuat media di Indonesia hanya memiliki laporan dari platform media Barat. Untuk mengimbangi laporan dari Barat itu, media menghadirkan pakar dan pejabat yang dapat memberi perspektif dari Rusia. Hal ini membuat pemberitaan tampak seakan-akan lebih pro-Rusia.
Hal senada disampaikan peneliti komunikasi di Universitas Indonesia Effendi Gazali. “Saya kira pertama-tama ini dikarenakan masyarakat kita belum memiliki gambaran yang utuh tentang apa yang terjadi di kedua negara ini. sementara budaya populer Rusia seperti huraaa dll, ini terasa menarik bagi masyarakat kita. Semangat ini diadopsi media sehingga menjadi basis untuk memilih narasumber dan berita utama yang pro-Rusia,” jelasnya.
Sentimen Anti-AS
Namun baik Henry Subiakto dan Effendi Gazali juga menyinggung faktor lain yang juga sangat mempengaruhi yaitu munculnya ketidaksukaan sebagian warga Indonesia pada negara-negara Barat yang kebijakannya dinilai tidak konsisten.
“Harus diakui banyak orang tidak suka dengan Amerika misalnya, terlebih setelah terungkapnya laporan-laporan tentang peran Amerika di masa lalu dalam sejarah Indonesia atau bagaimana mereka mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk yang terjadi di Timur Tengah. Warga Muslim Indonesia melihat Amerika bersikap tidak berimbang dalam menyikapi tindakan Israel, atau alasan mengintervensi Palestina, Irak, Suriah, Afghanistan, dan kini membela Ukraina secara berbeda. Dalam hal ini publik Indonesia terlihat kurang sepaham dengan Amerika," jelas Henry.
"Melihat publik seperti ini, media jadi mengikuti pasar. Sebaliknya ketika ada media yang hanya memberitakan laporan dari media Barat, ia langsung di-bully di media sosial, dianggap sebagai kaki tangan atau koraborator Amerika atau Barat. Konteks ini ditangkap media konvensional, bahwa jika mereka ingin laporannya menarik maka mereka harus mengikuti yang diinginkan masyarakat,” lanjutnya.
Lebih jauh Henry, yang pernah menjadi Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, menilai pertimbangan utama media memberitakan laporan yang lebih pro-Rusia adalah bisnis semata. Ia menepis asumsi keberhasilan propaganda Rusia di Indonesia.
“Media mah semuanya bisnis. Content of the media always reflect those who finance them. Siapa yang membiayai mereka? Ya masyarakat. Jika banyak pembaca atau penonton, akan banyak iklan. Jadi mereka otomatis mengikuti masyarakat," komentarnya.
"Saya kasih contoh lain tentang mengapa banyak media atau berita yang dibuat media, yang anti-pemerintah? Ini karena mereka yang ingin memenuhi hasrat mereka yang anti-pemerintah yang jumlahnya mungkin tidak banyak tapi vokal, dan mereka membutuhkan informasi yang membenarkan sikapnya. Lalu apakah berarti media yang bersangkutan anti-pemerintah? Tidak juga. Seringkali malah mereka ingin dekat pada pemerintah. Tapi mereka ingin menjawab keingintahuan pasar atau publik pada berita yang anti-pemerintah,” imbuh Henry.
Sebaliknya Effendi Gazali menilai dibandingkan konflik lain, sikap anti-Amerika tidak terlalu terlihat dalam konflik Rusia-Ukraina ini.
“Saya melihat dalam konteks perang Rusia-Ukraina tidak terlalu menunjukkan sikap anti-Amerika, karena publik bisa melihat bahwa banyak negara lain yang juga aktif seperti Inggris, Jerman, Polandia, atau bahkan Belarusia. Kalau pun ada yang anti-Amerika karena ada yang mengait-ngaitkan,” jelasnya.
Ia juga tidak melihat tingginya minat warga Indonesia pada laporan yang bersifat pro-Rusia dikarenakan keberhasilan propaganda Rusia. [em/jm]