Presiden AS Joe Biden memulai jabatannya dengan pesan "Amerika telah kembali," dan berjanji diplomasi akan menggantikan kekuatan militer sebagai instrumen utama kebijakan luar negeri AS. Kepala Biro Gedung Putih Patsy Widakuswara merekapitulasi kebijakan luar negeri AS pada tahun pertama Biden menjabat.
Benar-benar tahun luar biasa dalam kebijakan luar negeri AS - penarikan pasukan dari Afghanistan yang kacau pada Agustus lalu yang secara luas dinilai sebagai kegagalan terbesar tahun pertama Presiden Joe Biden menjabat.
Michael Kugelman, pengamat senior untuk Asia Selatan di Wilson Center mengemukakan, “Terorisme meningkat dan pengambilalihan oleh Taliban telah menyebabkan sanksi yang mengakibatkan Afghanistan terjerumus ke dalam sebuah krisis kemanusiaan akut yang bisa mengakibatkan kelaparan. Menurut saya penarikan AS yang sangat cepat dan kacau itu dipandang berkaitan dengan hasil tersebut.”
Penarikan itu sejalan dengan tujuan pemerintah AS untuk mengurangi keterlibatan militer di Timur Tengah. Akan tetapi tantangan tetap ada, termasuk ketegangan antara Israel dan Palestina, upaya yang macet untuk menyelamatkan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan, atau JCPOA, yaitu kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan kekuatan dunia yang dibatalkan oleh pemerintahan Trump pada tahun 2018.
Tetapi, menyusul beberapa tahun penyelenggaraan kebijakan luar negeri dibawah slogan America First semasa mantan Presiden Donald Trump, Biden berpesan bahwa Amerika telah kembali.
BACA JUGA: Catatan dari KTT Demokrasi AS: Pentingnya Redefinisi Demokrasi“Kita akan membela sekutu dan mitra dan menentang upaya dominasi negara kuat terhadap yang lebih lemah, baik melalui perubahan wilayah secara paksa, paksaan ekonomi, eksploitasi teknis, atau disinformasi. Tetapi kita tidak berusaha, sekali lagi kami tegaskan, tidak berusaha menciptakan Perang Dingin baru, atau dunia yang terbagi kedalam blok-blok yang bermusuhan,” ujar Biden.
Namun, Biden juga menarik garis yang tegas – apa yang disebutnya pertarungan antara demokrasi dan otokrasi.
Presiden AS itu menyemangati lebih dari 100 negara pada KTT virtual untuk Demokrasi pada Desember 2021 yang tidak mengundang Presiden China Xi Jin Ping dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pada kesempatan itu, Biden memperkuat tema utama dari doktrin kebijakan luar negerinya.
Stacie Goddard, Profesor Ilmu Politik di Wellesley College menguraikan, “Kerjasama global seputar masalah kompleks terkait lingkungan dan pandemi membutuhkan kerja sama dengan China dan Rusia. Tapi di sisi lain, juga berusaha bertahan pada tema Amerika Serikat akan bekerja sama dengan negara-negara demokrasi, Amerika Serikat adalah negara demokrasi yang memandang tantangan otoriter sebagai suatu tantangan yang signifikan.”
China, sekarang musuh utama dari segi kekuatan militer dan pengaruh geopolitik dan merupakan prioritas kebijakan luar negeri Biden. Tetapi Rusia, pesaing lainnya tidak tinggal diam, dan memobilisasi puluhan ribu tentara di sepanjang perbatasan Ukraina.
Andrew Lohsen, peneliti pada Program Eropa, Rusia dan Eurasia di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) mengemukakan, “Rusia bukanlah masalah yang terselesaikan, Rusia masih menjadi aktor utama yang memiliki kepentingan berbeda dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa. Menurut saya beberapa perilaku Rusia itu mengingatkan Amerika Serikat bahwa mereka tertarik untuk mengejar kepentingan dan hal itu tidak dapat diabaikan.”
Masalah lain yang belum terpecahkan adalah Korea Utara, di mana pemerintah tidak mau membuat kesepakatan kecuali Kim Jong Un berkomitmen untuk menghentikan program senjata nuklirnya. [mg/jm]
Your browser doesn’t support HTML5