Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang melakukan investigasi terhadap kekerasan dan penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua telah menemukan sejumlah fakta penting. Antara lain dugaan keterlibatan kelompok bersenjata dalam pembunuhan dua anggota TNI dan satu warga sipil pada 17 dan 19 September 2020. Kata Mahfud, tim juga menemukan adanya dugaan keterlibatan aparat dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia pada tanggal 19 September 2020.
Namun, menurut Mahfud, hasil pengumpulan data dan informasi TGPF bukan untuk kepentingan pembuktian hukum, melainkan untuk membuat terang peristiwa kekerasan di Intan Jaya.
"Kita akan serahkan ini (laporan TGPF) ke Polri, TNI, dan BIN sebagai bahan untuk langkah penyelidikan lebih lanjut," jelas Mahfud Md dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (21/10).
BACA JUGA: TGPF Intan Jaya: Keluarga Setuju Jenazah Pendeta DiautopsiMahfud menambahkan pemerintah akan menyelesaikan kasus di Intan Jaya sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika peristiwa tersebut berkaitan dengan tindak pidana berupa kekerasan atau pembunuhan, maka kasus tersebut akan ditangani polisi dan kejaksaan. Pemerintah juga telah meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawal prosesnya lebih lanjut.
Di samping itu, Mahfud juga merekomendasikan agar daerah-daerah yang masih kosong dari aparat pertahanan keamanan organik supaya segera dilengkapi untuk memperkuat keamanan di Papua. Ia juga membantah jika masyarakat Papua meminta aparat ditarik dari Papua. Menurutnya, permintaan penarikan aparat tersebut berasal dari kelompok bersenjata.
"Faktanya sekarang di sana daerahnya luas dan sulit. Itu ada beberapa daerah yang masih kosong, Polres dan Koramil merangkap beberapa wilayah. Dan kami merekomendasikan segera diisi," tambah Mahfud.
BACA JUGA: OPM Mengaku Bertanggung Jawab atas Penembakan Anggota TNI dan TGPF di Intan JayaMungkinkan Kasus Disidangkan di Pengadilan Sipil?
Menanggapi temuan ini, Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elizabeth mengatakan, penyidik kepolisian perlu bekerja dalam mencari bukti-bukti untuk mengungkap pelaku. Sebab, kata dia, temuan TGPF masih bersifat dugaan pelaku yang belum tentu teruji kebenarannya. Namun, jika terbukti tersangka pelakunya berasal dari militer, ia mengusulkan agar kasusnya disidangkan di pengadilan sipil.
"Perspektif korban atau masyarakat, mereka mengatakan kalau betul pelakunya tentara ya harus diadili melalui pengadilan sipil. Jangan di pengadilan militer karena mereka tidak tahu transparansinya seperti apa," jelas Adriana Elizabeth kepada VOA, Rabu (21/10) malam.
Elizabeth menjelaskan transparansi kasus hukum yang melibatkan militer, penting untuk memenuhi keadilan bagi korban dan keluarga korban. Hasil pantauannya, sejumlah kasus di Papua yang disidangkan di Pengadilan Militer kurang transparan. Semisal kasus penembakan di Paniai yang mengakibatkan empat orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka. Serta kasus pembunuhan terhadap tokoh adat Papua, Dortheys Hiyo Eluay pada 2001.
Menurut Elizabeth, pemerintah juga perlu komunikasi dengan masyarakat Papua jika ingin menempatkan aparat organik di sejumlah wilayah yang masih kosong. Hal tersebut untuk mencegah trauma masyarakat muncul kembali karena kerap menjadi korban kekerasan dari aparat.
"Jadi kalau ada rencana-rencana itu harus dikomunikasikan. Bisa langsung ke masyarakat, atau melalui pemda, tokoh adat, tokoh gereja. Supaya mereka tidak resisten dan semakin takut," tambah Elizabeth.
Your browser doesn’t support HTML5
Aksi Kekerasan Kembali Koyak Papua
Dua anggota TNI dan dua warga sipil meninggal, termasuk di antaranya Pendeta Yeremia Zanambani yang tertembak pada pertengahan September lalu. Pemerintah kemudian membentuk TGPF untuk mencari fakta-fakta tentang peristiwa kekerasan dan penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Tim ini terdiri dari pejabat pemerintah, tokoh Papua dan akademisi. TGPF kemudian bekerja selama dua pekan dan melaporkan hasilnya kepada Menko Polhukam Mahfud Md. [sm/em]