Pawai Ta’aruf yang dilakukan sekitar 50 orang anggota Front Pembela Islam (FPI) di sejumlah pusat perbelanjaan di Surabaya, bertujuan mensosialisasikan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 56 tahun 2016, tentang Hukum Penggunaan Atribut Keagamaan Non Muslim. Memakai mobil pengeras suara, peserta aksi menyerukan tidak adanya pemaksaan kepada karyawan untuk memakai atribut Natal, seperti yang dilakukan di Mall Grand City, Mall Ciputra World Surabaya, Pasar Atom, dan beberapa pusat perbelanjaan lain di Surabaya.
Kepala Sub Bagian Humas Polrestabes Surabaya, Komisaris Polisi Lily Djafar mengatakan, aksi anggota FPI ini tidak sampai menimbulkan keresahan pengunjung mal, karena hanya bersifat pemberitahuan kepada pengelola pusat perbelanjaan yang didatangi.
“Jadi mereka hanya menyebarkan, hanya menyampaikan fatwa MUI dan itu bukan sweeping. Mereka dikawal polisi di depan pintu dan manajemennya dipanggil keluar untuk menyampaikan fatwa MUI itu. Dan juga itu tidak memaksa, mereka tidak memaksa hanya menyampaikan. Apabila ada umat Islam yang memakai itu, itu tidak ada unsur paksaannya atau unsur larangan dipaksa tidak boleh, tidak boleh itu tidak ada,” kata Komisaris Polisi, Lily Djafar, Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya
Manajer Operasional Grand City Mall Surabaya, Stevie Widya menegaskan, pengusaha atau tenant yang ada di Grand City tidak ada yang memaksa pegawainya untuk berpakaian atribut Natal, meski banyak di antara pegawai secara sukarela mengenakan atribut bernuansa Natal.
Namun demikian, Stevie memastikan imbauan itu akan tetap ditindaklanjuti kepada seluruh tenant dan karyawan yang ada di pusat perbelanjaan yang dikelolanya.
“Memang banyak yang melakukan dengan sukarela, cuma saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka (ormas) kok bilangnya terpaksa, padahal karyawannya sendiri itu ya sukarela melakukan, jadi tidak ada kita memaksa mereka apalagi sampai, kamu harus pakai atribut Natal nanti kamu saya naikkan gaji, kamu saya kasih bonus dan sebagainya itu sama sekali tidak ada di sini, benar-benar itu karena, ya tidak ada paksaan, sukarela saja mereka pakai,” kata Stevie Widya.
Sementara itu Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi, Aan Anshori, mengecam aksi-aksi pengerahan massa yang menyuarakan aspirasinya, namun mengesampingkan hak orang lain. Seharusnya tidak ada kelompok masyarakat yang merasa berada di atas hukum atauyang berhak menjadi polisi untuk orang lain.
“Saya mengecam praktek itu, seakan-akan mereka atau FPI itu berada di atas hukum itu sendiri. Bagaimana pun setiap orang punya kemerdekaan untuk mengenakan apa pun, dan yang paling membuat marah adalah bahwa polisi tidak malah membubarkan atau melarang aksi tersebut, akan tetapi malah mengawal, ini saya kira tamparan keras bagi aparat penegak hukum,” kata Aan Anshori, Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD).
Your browser doesn’t support HTML5
Aan Ashori mendorong pemerintah dan aparat keamanan untuk menindak tegas kelompok-kelompol\k yang melakukan intimidasi atas nama agama, dan mengabaikan hukum serta kebhinnekaan yang ada di Indonesia.
“Saya mendesak pemerintahan Jokowi dan Kapolri, untuk memastikan polisi berdiri di atas konstitusi dalam rangka menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, terutama menjamin tidak adanya intimidasi atas nama agama kepada kelompok mana pun,” lanjut Aan Anshori. [pr/ab]