Oktober diperingati sebagai bulan peduli kanker payudara di seluruh dunia. Berdasarkan data terakhir organisasi Breast Cancer Research Foundation di Amerika Serikat, hampir 2 juta orang didiagnosis mengidap kanker payudara, pada tahun 2018.
Bertepatan dengan bulan peduli kanker payudara tahun ini, warga Indonesia, Naturi Isherdianto atau akrab disapa, Turi, di Weston, Florida, merilis novel elektronik, bertajuk “I Pink, I Can!,” yang diadaptasi dari kisah hidupnya.
“Buku ini sebetulnya fiksionalisasi dari kisah saya waktu kena kanker payudara tahun 2015,” cerita Turi Isherdianto kepada VOA Indonesia melalui wawancara lewat Skype.
Setelah divonis kanker payudara, Turi lalu berusaha mendidik dirinya sendiri, dengan membaca berbagai buku referensi. Namun, ada sesuatu yang kurang.
“Saya cari kok kayaknya saya enggak banyak (menemukan) buku fiksi, yang di mana tokohnya itu (mengidap) kanker payudara dan enggak banyak juga buku yang light-hearted, yang lucu, yang melihat sisi kanker payudara tuh, enggak hanya sekedar momok menakutkan, tapi juga ada sisi light hearted, jadi ringan dibaca,” kenang perempuan kelahiran 1979 ini.
Dalam novel berbahasa Inggris ini, para pembaca akan berkenalan dengan karakter Mindy yang berusia 24 tahun, yang pada suatu hari mengetahui bahwa dirinya mengidap kanker payudara. Novel ini juga bercerita mengenai perjuangan Mindy menjalani berbagai perawatan, proses radiasi, dan mastektomi.
“Walaupun kisah di buku ini fiksi, pengobatannya, jalannya itu persis banget sama apa yang saya rasakan gitu, (efek sampingnya), segala macam itu persis,” kata Turi.
Inilah yang lalu mendorong Turi untuk menulis novel ini untuk berbagi pengetahuan mengenai penyakit kanker payudara dan pengobatannya, dengan cara yang ringan dan penuh kejenakaan.
Keluarga Turi pun sangat mendukungnya untuk menuangkan pengalamannya ke dalam tulisan.
“Karena dia suka nulis, saya menyarankan gimana kalau dia tulis buku, bisa berupa memoir atau bisa berupa novel,” ujar Daddy Isherdianto, suami Turi.
“Dengan saya membagi pengalaman saya, pasti ada minimal satu-dua oranglah yang bisa belajar dari pengalaman itu,” kata Turi.
Judul dari novel ini pun memiliki cerita tersendiri, yang berhubungan erat dengan makna pita merah muda yang identik dengan kanker payudara, dan penuh dengan permainan kata.
“’I Pink, I Can!’ itu kan karena permainan kata ya, mestinya kan, ‘I think, I can,’ (saya rasa, saya bisa.red). Nah, itu juga sesuatu dari pengalaman saya sebagai pasien tuh, ‘saya bisa enggak sih menjalani ini?’ I think, I can?,’ gitu, ada tanda tanya. Tapi, setelah saya sudah terjun langsung jadi pasien, waktu itu saya justru yang mencetuskan kepada diri saya sendiri, saya harus bisa. Jadi 'I think I can,’” papar perempuan yang sudah berdomisili di Amerika Serikat selama tujuh tahun ini.
Untuk desain sampul novelnya, Turi ikut dibantu oleh saudaranya yang tinggal di Jawa Timur. Ia memilih warna merah muda yang identik dengan pita merah muda kanker payudara, dan juga kuning, yang melambangkan rasa semangat.
Menulis Sejak 2016
Ide awal dari cerita novel ini sebenarnya sudah tertanam sejak tahun 2016. Namun, baru di masa pandemi ini, ketika lebih banyak berkegiatan di rumah, Turi lalu fokus menyelesaikan novelnya dan mencari editor dan “beta reader,” atau orang kedua selain sang penulis, yang bisa membaca sebuah novel sebelum dikirimkan ke penerbit.
“Thanks to social media ya, jadi zaman sekarang untuk indie author tuh ada banyak Facebook groupnya. Saya gabung di situ. Saya mulai tanya-tanya. Saya dapat beberapa nama, ngobrol juga, sempat aku kasih draft awal gitu. Terus akhirnya, ada sekitar tiga atau empat orang yang aku suka,” jelas lulusan S1 dari Universitas Indonesia jurusan Fisika ini.
Sementara ini memang novel “I Pink, I Can!” ini hanya bisa dibaca dalam format elektronik, dan bisa ditemukan di berbagai situs online, termasuk Amazon. Namun, untuk ke depannya, Turi berencana untuk merilis novel ini dalam bentuk fisik.
“Ada beberapa platform yang mereka print on demand. Jadi, kita kalau ada yang pesan, mereka akan print, terus langsung kirim,” jelasnya.
Dibalik Nama “Tori West”
Sejak dulu, Turi bercita-cita ingin memakai ‘pen name’ atau nama samaran, jika suatu hari nanti ia menulis buku.
“Saya pengin membedakan kehidupan saya, antara kalau saya jadi penulis dan saya jadi seorang Turi isherdianto,” jelasnya.
Nama Tori West ia pilih untuk novel perdananya ini. Nama “Tori” terinspirasi dari namanya sendiri yang dimiripkan dengan nama Amerika, lalu “West,” yang diambil dari kota tempat tinggalnya, Weston.
“Kedua, karena saya tuh ngefans banget sama Agatha Christie. Jadi waktu saya kecil, saya suka baca Agatha Christie dan dia tuh nama pen name-nya, Mary Westmacotts. Saya pendekin jadinya West,” kata perempuan yang hobi membaca ini.
Jadi jangan heran jika nama Turi tidak terpampang pada sampul novel ini.
Divonis Kanker Usia 36 Tahun
Sejak kecil Turi memang memiliki benjolan yang sudah beberapa kali diambil, namun dulu hanya dianggap sebagai tumor jinak atau fibroadenoma. Sampai akhirnya di tahun 2015, Turi menjalani pemeriksaan kesehatan tahunan biasa, yang berujung kepada diagnosis kanker payudara.
Masih jelas dalam ingatannya, ketika awalnya dokter mengatakan bahwa Turi tidak perlu menjalani mammogram, karena masih di bawah 40 tahun. “Kayaknya, enggak usah deh. (Dokter) bilang gitu,” kenang Turi.
Organisasi American Cancer Society yang melakukan berbagai penelitian kanker di Amerika Serikat mengatakan dalam situsnya bahwa, “perempuan berusia 40-44 tahun diberi pilihan untuk menjalani pemeriksaan kanker payudara dengan mammogram, jika mereka ingin melakukannya. Perempuan berusia 45-54 tahun harus menjalani mammogram setiap tahun. Perempuan berusia 55 tahun ke atas, harus melakukan mammogram setiap dua tahun.”
Namun, Turi terus mempertanyakan mengenai benjolan pada tubuhnya, sampai akhirnya Turi diminta untuk melakukan pemeriksaan, demi ketenangan hati.
“Dari check-up-nya itu, di-mammogram (tes untuk memeriksa payudara dengan teknologi rontgen.red), terus habis itu di ultrasound, terakhir di biopsi. Pas biopsi itu dia bilang hasilnya, biasanya kan cuman ditelpon aja, terus ini dia bilang, coba deh kamu dengerin hasil biopsinya dari dokter aja,” ceritanya.
Rasa kaget pun seketika melandanya, mengingat usianya pada waktu itu baru 36 tahun.
“Kalau saya enggak tekankan lagi, mungkin enggak akan ketahuan kalau saya sakit,” ujar Turi
“Kita yang harus menyadari dan kita harus aware, dan kita harus (tekankan). Kita kan tahu tubuh kita ya, kalau ada yang aneh atau ada sesuatu yang tahu-tahu out of the ordinary aja gitu loh, muncul, kita yang harus meyakinkan kesehatan itu ke dokter,” tegas Turi.
Setelah menemui beberapa dokter untuk mendapatkan opini lain, ia pun lalu memutuskan untuk memulai pengobatan di tahun 2016 dan menjalani mastektomi ganda atau pengangkatan kedua payudara.
“Tantangan yang terberat waktu itu adalah perasaan takut, saya akan bisa survive atau enggak. Dan kalaupun survive, quality of life saya waktu itu (akan) seperti apa?” ujar Turi.
“Cuman begitu sudah ngejalanin sendiri, chemo ya, go with the flow saja, dan berusaha buat tegar.”
Dukungan Sang Suami
Turi tidak berjuang sendirian. Sang Ibu datang langsung dari Indonesia untuk menjaganya, bersama suami dan puteri Turi.
“Suamiku tuh my number one supporter deh, pokoknya. Kalau enggak ada suamiku, kayak-nya aku juga enggak ada di sini,” kata Turi.
“Saya selalu berusaha ada buat (Turi). Saya berusaha ada di samping dia di saat apapun itu, terutama pada saat proses chemo, pada saat dia dioperasi, pada saat radiasi, pada saat dia mengalami efek samping dari (kemoterapi),” kata Daddy Isherdianto.
Dalam menyemangati Turi, Daddy memiliki cara tersendiri.
“Mungkin saya lebih suka buat joke (lelucon.red) atau saya lebih suka buat suasana itu lebih ceria, dengan joke-joke daripada dengan memberi kata-kata mutiara dan kata-kata indah,” tambah Daddy.
Setelah menyelesaikan pengobatan dan radiasi di tahun 2016, Turi memasuki masa remisi, di mana tubuh dinyatakan sudah bersih dari sel kanker. Turi berharap, novelnya ini bisa memberikan gambaran mengenai perjuangan pasien kanker payudara, tanpa maksud menghakimi atau mengajari dengan dingin.
Kepada sesama perempuan, Turi berpesan untuk selalu melakukan pemeriksaan payudara.
“Kalau menemukan sesuatu di payudara, langsung cek. Kadang-kadang itu bukan apa-apa. Tapi itu bukan alasan bagi kita buat terus didiami saja gitu. Sedangkan buat teman-teman yang lagi dalam kondisi seperti saya tahun 2015, good luck,” kata lulusan S2 dari Katholieke Universiteit Luven, Belgia, jurusan manajemen ini.
Dukungan dari pasangan dan keluarga sangatlah penting. Daddy mengatakan, “Kita harus berperan sebagai tim. Kita satu tim dan satu tim yang kuat.”
Menurutnya, apa pun yang terjadi, memiliki alasan yang baik. Semuanya akan berakhir dengan baik, dan jika tidak, maka itu bukanlah akhir dari segalanya.
Your browser doesn’t support HTML5
“Hang in there (bertahanlah.red). Inshaallah pasti ada jalan. Dan apa pun itu, adalah yang terbaik buat kita semua,” tambah Daddy.
Turi percaya bahwa akan “selalu ada pelangi setelah hujan.” Walau perjuangan melawan kanker adalah “perjalanan panjang dan berat,” Turi percaya bahwa Anda pasti bisa menjalaninya.
“You can do it. Memang sulit, tapi Anda biasa melakukannya,” pungkas Turi menutup wawancara dengan VOA.