Kasus pelecehan terhadap anak-anak kembali menuai sorotan. Kali ini yang menjadi korban adalah kakak beradik, Joni (14 tahun) dan Jeni (7 tahun). Keduanya nama samaran demi keamanan dan privasi korban.
Joni dan Jeni diperkosa berulang-ulang oleh tetangganya bernama HI, 41 tahun. Joni diperkosa sejak berumur 12 tahun dan Jeni sedari berusia empat tahun.
Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, hari Senin (22/4), Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Uli Arta Pangaribuan mengatakan berdasarkan informasi dari orang tua korban dan jaksa penuntut umum, ditemukan kejanggalan dalam proses persidangan dan tidak terpenuhinya prinsip-prinsip peradilan yang jujur dan adil.
Uli menyebutkan selama persidangan, hakim yang memeriksa cuma satu orang, yakni Muhammad Ali Askandar. Namun dalam putusan disebutkan majelis hakim terdiri dari tiga orang, yakni Muhammad Ali Askandar (ketua), Chandra Gautama (anggota), dan Raden Ayu Rizkiyati (anggota).
BACA JUGA: #JusticeForAudrey: Bullying Remaja Belaka atau Kekerasan Fisik & Seksual?Selama proses pemeriksaan, hakim tidak memperkenankan Joni dan Jeni didampingi pendamping dan orang tua, termasuk ketika dipertemukan dengan pelaku di ruang sidang. Sementara pelaku didampingi dua pengacara. Keluarga Joni dan Jeni juga tidak pernah diberitahu mengenai perkembangan proses persidangan.
Dalam persidangan, pelaku berinisial HI, mengakui telah melakukan kekerasan seksual kepada Joni dan Jeni. Para saksi juga memberikan keterangan yang menguatkan. Hasil visum dokter menyimpulkan HI sudah melakukan kekerasan seksual terhadap Joni dan Jeni.
Jaksa sejatinya telah menuntut hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 30 juta kepada terdakwa HI, berdasarkan pasal 81 ayat2 dan pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Tapi pada 25 Maret 2019, hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, memutus bebas HI dengan pertimbangan tidak ada saksi yang melihat langsung pemerkosaan terhadap Joni dan Jeni.
"Padahal untuk kasus pasal 81 yang disampaikan oleh jaksa sudah memenuhi kriteria untuk pembuktiannya. Ada visum et reportum, kenapa itu nggak menjadi bukti buat hakim untuk membuktikan bahwa benar terjadi pemerkosaan terhadap Joni dan Jeni," kata Uli.
Uli menambahkan bebasnya pelaku HI, bukan hanya preseden buruk bagi korban kekerasan seksual lainnya, tetapi juga akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Meyriza Violyta dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia membenarkan kejanggalan selama proses persidangan kasus Joni dan Jeni. Pertama sejak awal hingga persidangan berakhir, keduanya tidak didampingi oleh kuasa hukum.
"Mereka dari awal sampai akhir itu betul-betul hanya antara hakim dan kedua korban. Padahal harusnya di dalam peraturan perundang-undangan, di undang-undang perlindungan anak juga, anak yang menjadi korban itu wajib didampingi pada saat proses persidangan," ujar Meyriza.
Apalagi, lanjutnya, korban bernama Joni juga menderita disabilitas mental.
Selain tanpa pedampingan, kedua korban juga diperiksa bersama pelaku dalam satu ruang sidang. Ini tentu memperberat trauma psikis Joni dan Jeni.
BACA JUGA: Pameran Baju Penyintas Kekerasan Seksual Berupaya Hapus StigmaMeyriza mengaku sangat heran dengan perilaku hakim yang tidak memperhatikan kondisi anak sebagai korban. Puncak kejanggalan, kata dia, adalah hakim memutus bebas pelaku. Menurutnya, hakim yang sama sebelumnya juga memutus bebas pelaku dalam kasus lain.
Meyriza sekali lagi menegaskan sedari awal proses persidangan perkara Joni dan Jeni sudah cacat hukum. Karena itulah, dia menilai vonis yang dikeluarkan majelis hakim sangat tidak adil dan ngawur.
Staf Perubahan Hukum LBH APIK Dian Novita mengungkapkan orang tua Joni dan jeni sudah berupaya mencari keadilan dengan melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bogor, Komnas Anak, Komisi Yudisial, dan LBH APIK Jakarta.
Menanggapi bebasnya pelaku dan kejanggalan proses persidangan perkara Joni dan Jeni, LBH APIK menyampaikan pernyataan sikap yang dibacakan oleh Staf Perubahan Hukum LBH APIK Dian Novita.
"Meminta kepada Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi kepada pelaku yang sedang diajukan oleh jaksa penuntut umum sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Anak Noor 35 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dua, meminta Komisi Yudisial dan badan Pengawas Mahkamah Agung untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang memeriksa perkara J dan J arena membebaskan pelaku pemerkosaan anak," tutur Dian.
Your browser doesn’t support HTML5
LBH APIK dan MAPPI meminta aparat penegak hukum terus melakukan sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung dan meminta seluruh hakim menjalankan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Juga meminta LPSK memberikan pemulihan kepada korban dan keluarganya dari trauma serta kerugian materil akibat kasus tersebut. Meminta LPSK memberikan perlindungan kepada korban dan keluarganya karena pelaku bertempat tinggal dekat rumah korban.
LBH APIK dan MaPPI mendorong Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang Penghapusan kekerasan Seksual. Kemudian negara harus memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan korban dan keluarga korban. Negara tidak boleh abai dalam kasus ini. (fw/em)