Lemahnya regulasi mengenai praktik pinjaman online (pinjol) yang berlaku di Indonesia ditambah kurangnya pengetahuan akan literasi keuangan digital di masyarakat telah menimbulkan banyaknya korban yang berjatuhan akibat praktik tersebut.
Melihat situasi kondisi yang mengkhawatirkan itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendorong pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat regulasi yang dapat mengakomodir kebutuhan perlindungan hukum dan hak asasi manusia bagi para konsumen pinjaman online.
Pengacara publik Jeanny Sirait, mewakili LBH Jakarta, mengatakan bahwa langkah pemerintah yang hanya menangani persoalan pinjol dari perusahaan yang tidak terdaftar tidak menjawab persoalan masyarakat. Sebab, dari dari sekitar tujuh ribuan laporan masyarakat yang masuk ke LBH Jakarta terkait kasus pinjaman online juga berasal dari perusahaan yang terdaftar.
"Kami tiga tahunan melakukan riset dan audiensi dengan lembaga-lembaga negara terkait, tapi tidak ada terobosan untuk masyarakat," jelas Jeanny kepada VOA, pada Minggu (24/10/2021) malam.
Saat ini, praktik pinjaman online diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77 tahun 2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Banyak pihak yang menilai bahwa peraturan tersebut tak cukup untuk menangani persoalan yang timbul akibat praktik pinjol terutama tentang perlindungan terhadap para konsumen.
Jeanny mengatakan bahwa lembaganya bersama para korban pinjol akan menempuh jalur hukum yaitu dengan mengajukan gugatan warga negara atau Citizen Law Suit. Hal Ini dilakukan karena pemerintah dan lembaga negara lain tidak kunjung merespons permintaan mereka akan pembuatan regulasi yang dapat mengakomodir perlindungan terhadap konsumen.
Your browser doesn’t support HTML5
Gugatan itu rencananya ditujukan kepada Presiden, Wakil Presiden, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Otoritas Jasa Keuangan, dan DPR. Ia menambahkan bahwa gugatan tersebut akan dilayangkan dalam dua pekan depan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
LBH Jakarta sejauh ini telah berhasil menghimpun sejumlah persoalan pinjaman online dalam beberapa tahun terakhir. Masalah-masalah yang terekam antara lain berkisar mengenai persoalan biaya administrasi yang tinggi atau mencapai 30 persen dari nilai pinjaman, bunga yang tinggi dan tanpa batasan yang mencapai 4 persen per hari, serta penagihan yang dilakukan dengan berbagai tindak pidana.
Contoh tindak pidana yang dimaksud itu adalah seperti pengancaman, penipuan, penyebaran data pribadi bahkan pelecehan seksual.
BACA JUGA: Jokowi Setop Sementara Izin Pinjol BaruPada pertengahan Oktober, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memberlakukan moratorium penerbitan izin pinjaman online baru. Hal itu diberlakukan melihat semakin banyaknya korban, terutama mereka yang berasal dari kelompok ekonomi menengah kebawah, yang terjerat hutang pinjaman online.
Data Kominfo menunjukkan bahwa pihaknya telah menutup sebanyak 4.874 akun pinjaman online ilegal yang beredar di internet dari periode 2018 hingga 15 Oktober 2021.
Sementara itu, Jeanny menuturkan bahwa saat ini belum ada proses penyelesaian masalah dan penjatuhan sanksi yang layak jika konsumen mengadukan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pinjaman online kepada lembaga negara terkait.
Padahal, menurut catatan LBH Jakarta, persoalan-persoalan ini memberikan dampak tambahan kepada korban pinjaman online. Diantaranya adalah para korban mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), bercerai karena penagihan dilakukan kepada keluarga ipar, trauma dan bunuh diri karena tidak sanggup menahan beban psikologis.
Pemerintah Tindak Tegas Pinjaman Online Tidak Berizin
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan pemerintah akan melakukan tindakan tegas kepada pelaku tindak pidana terkait pinjaman online tidak berizin.
Menurutnya, pemerintah ingin menyelamatkan masyarakat dari pemerasan dan ancaman yang dilakukan pelaku. Mahfud menyebut pelaku juga dapat dijerat pidana dengan sejumlah pasal Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena menyebarkan foto-foto korban.
"Kemungkinan Undang-undang ITE ada Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 32. Pasal 27 misalnya penyebaran foto-foto tidak senonoh atau porno yang disebar untuk mengancam orang agar malu," jelas Mahfud kepada wartawan di Jakarta, pada Jumat (22/10/2021).
Mahfud mendorong korban berani melapor ke polisi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapatkan perlindungan.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim) Komjen Pol Agus Andrianto menambahkan polisi telah mengungkap 13 kasus dengan 57 tersangka terkait kasus pinjaman online tidak berizin sejak pertengahan Oktober ini. Kasus tersebut ditangani Bareskrim Polri dan sejumlah Polda yaitu Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Barat, dan Polda Jawa Tengah.
BACA JUGA: Beli Online, Bayar Offline: Ekonomi Digital dan Perlindungan Data Pribadi"Kita sedang menganalisa (perkembangan kasus pinjol ini). Hasilnya akan kita distribusikan ke seluruh wilayah agar pelaku-pelaku usaha pinjaman online ilegal ini bisa kita tindak," jelas Agus di Jakarta, Jumat (22/10/2021).
Agus menjelaskan Mabes Polri telah mengirimkan telegram kepada seluruh Kepolisian Daerah agar merespons cepat keluhan masyarakat yang mendapatkan gangguan baik secara fisik dan psikologis terkait kasus pinjaman online. [sm/rs]