Dalam wawancara dengan Financial Times pekan lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan sedang mempertimbangkan membeli minyak dari Rusia. “Kami memonitor semua opsi. Jika ada negara lain yang menawarkan harga lebih baik, tentu saja,” ujar presiden ketika ditanya kemungkinan membeli minyak Rusia, seraya menambahkan “merupakan tugas pemerintah menemukan beragam sumber untuk memenuhi kebutuhan energi rakyatnya. Kami ingin menemukan solusinya.”
BACA JUGA: Jokowi Pertimbangkan Beli Minyak RusiaMenko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang pekan ini sedang berada di Washington DC membenarkan pernyataan presiden itu, dan bahkan telah menyampaikannya secara terbuka kepada sedikitnya tiga pejabat Amerika, yaitu Penasihat Keamanan Nasional Amerika Jake Sullivan, Menteri Perdagangan Gina Raimundo dan Menteri Keuangan Janet Yellen; ketika melangsungkan pertemuan secara terpisah dengan ketiga pejabat tersebut Jumat lalu (16/9).
“Saya bilang kami ingin bicara secara terbuka, kami mana saja siap. Jika Kepres itu bisa dieksekusi, ya kita OK, gak ada masalah. Tapi jika tidak bisa, kami harus survive. Subsidi kami $35 billion. Itu mau diapain? Bisa collapse. Dia paham. Jadi dengan bicara terbuka, tidak berbelit kami jelaskan bahwa it’s a matter of survival. Jika bisa, ya dijalankan. Jika tidak yaa … Kami dengan Rusia juga bicara terbuka juga," papar Luhut.
Ketika VOA menanyakan apakah ada tekanan dari Yellen, Luhut menjawab, "Saya lihat tidak, kami bicara terbuka, ketawa-tawa juga. Dia bilang make sense juga. Saya bilang sama dia India juga beli 1 juta barel per hari, tidak ada masalah juga. Jadi bagaimana dengan kami?."
Luhut tidak merinci “Kepres” atau semacam kebijakan khusus yang akan disampaikan oleh Yellen terkait pembelian minyak Rusia ini, tetapi menurutnya akan disampaikan dalam dua bulan ke depan. “Kami siap mempelajari hal ini jika sudah di-share nanti,” tegas Luhut.
Your browser doesn’t support HTML5
Diwawancarai secara terpisah, pakar hubungan internasional di Universitas Indonesia Dr. Suzie Sudarman mengatakan dalam konteks memenuhi kepentingan nasional, setiap negara sedianya menghormati keputusan yang diambil negara lain.
“Sesuatu yang mencengangkan jika Indonesia tidak dikenai sanksi oleh AS karena kita biasanya kena secondary sanction dan lain-lainnya yang berhubungan selalu dinilai netral. Saya kira hubungan Indonesia dan AS semakin akrab berkat latgap Garuda Shield, yang menjadi mode isyarat Indonesia pada AS bahwa “kami tetap membutuhkan AS.” Memang tidak masuk QUAD atau AUKUS atau secara terang-terangan menerima keduanya, tetapi kita butuh AS di kawasan. Di sisi lain AS memahami kebutuhan Indonesia karena terkait sumber daya langka seperti minyak, jadi ada trade off. Yang penting kedua pihak, baik AS maupun Indonesia, sama-sama memahami alasan kebijakan masing-masing dan menghormatinya,” ujar Suzie.
Penuhi Kebutuhan Nasional, Subsidi BBM Kini Capai 502,4 Triliun Rupiah
Seiring penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang diumumkan 3 September lalu, anggaran subsidi dan kompensasi energi pun naik tiga kali lipat. Kenaikan subsidi untuk BBM dan LPG dari Rp77,5 triliun ke Rp149,4 triliun, serta untuk listrik dari Rp56,5 triliun naik ke Rp59,6 triliun. Kompensasi untuk BBM dari Rp18,5 triliun menjadi Rp252,5 triliun dan kompensasi untuk listrik dari semula Rp0 menjadi Rp41 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan “total subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG dan listrik ini mencapai Rp502,4 triliun.” Angka ini dihitung berdasarkan rata-rata ICP (Indonesian Crude Price) yang bisa mencapai $105 per barel dengan kurs Rp.14.700 per satu dolar Amerika. Namun ia menegaskan bahwa jika harga ICP turun ke $90 per barel hingga Desember 2022 maka rata-rata satu tahun ICP Indonesia masih mencapai $99 per barel. Kalaupun harga ICP turun hingga di bawah US$90/barel maka keseluruhan tahun rata-rata ICP Indonesia masih di US$97/barel.
Your browser doesn’t support HTML5
Dengan perhitungan ini, angka kenaikan subsidi dari Rp502 triliun masih akan tetap naik menjadi Rp653 triliun jika harga ICP adalah rata-rata $99 per barel. Sedangkan jika harga ICP di $85 per barel sampai Desember 2022 maka kenaikan subsidi menjadi Rp640 triliun.
Sri Mulyani menegaskan, “Kenaikan Rp137 triliun atau Rp151 triliun tergantung dari harga ICP. Perkembangan dari ICP ini harus dan akan terus kita monitor karena memang suasana geopolitik dan suasana dari proyeksi ekonomi dunia masih akan sangat dinamis.” [em/jm]