Sri tidak bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahnya karena dapat bertemu lagi dengan putranya IU, korban perdagangan orang di Gabon, Afrika. Apalagi dia merasa bersalah karena secara tidak langsung ikut menjerumuskan anaknya itu.
Ibu paruh baya ini bercerita IU sebenarnya bercita-cita menjadi polisi namun tidak lulus tes. Kemudian orang tua menyarankan agar IU kuliah namun dia tidak mau.
Sepulang dari rapat di balai desa, Sri menceritakan mengenai peluang kerja di kapal di luar negeri dengan beragam tawaran menarik, termasuk gaji Rp 9 juta per bulan. IU yang baru lulus sekolah menengah atas tertarik dan ingin bergabung.
"Saya sampaikan ke anak saya. Maksudnya ada peluang, tadi ada sosialisasi di desa. Jadi ini mungkin juga keteledoran saya selaku orang tua, dengan mudahnya juga saya mencerna kabar ini," tutur Sri.
Ternyata, lanjut Sri, bukan hanya IU yang berminat, beberapa temannya juga tertarik dengan peluang kerja menjadi anak buah kapal di luar negeri. Kemudian kapten E juga datang untuk memastikan keseriusan niat IU.
Sri sebenarnya sudah merasakan keanehan ketika diharuskan membayar uang kontrak dan makan minum selama ditampung di Jakarta. Tapi karena IU ngotot, keluarga akhirnya pasrah membayar. Dia juga curiga karena tiba-tiba IU sudah mempunyai buku pelaut padahal dia tidak pernah mendapat pendidikan sebagai pelaut.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto menjelaskan IU berangkat ke Gabon pada 6 November 2016 setelah tiga bulan berada di Jakarta. Namun baru tiga bulan di sana, IU merasa tidak nyaman dan melapor kepada orang tuanya.
Menurut Hariyanto, keluarga IU mulanya melapor ke Sultan Marine Agency, perusahaan yang mengirim korban menjadi anak buah kapal di Gabon. Bukannya solusi didapat, mereka diminta membayar Rp 50 juta untuk memulangkan IU dari sana.
Hariyanto mengatakan butuh setahun untuk mengungkap sekaligus memulangkan IU ke Indonesia. Salah satu alasannya adalah karena pemerintah Indonesia tidak memiliki kantor perwakilan diplomatik di Gabon.
Dia mengungkapkan ada proses pemalsuan data dalam perekrutan IU, termasuk pemalsuan data di paspor dan dokumen yang semua menggunakan nama Paiman bukan IU. Dia juga tidak pernah mendapatkan pendidikan sebagai anak buah kapal. IU tadinya dijanjikan bekerja di sebuah kapal tanker dengan gaji setara Rp 9 juta per bulan.
Namun, lanjut Hariyanto, IU malah dipekerjakan sebagai anak buah kapal di kapal penangkap ikan dengan upah setara US$ 160 setiap bulan. Gaji itu pun tidak dibayar rutin tiap bulan.
"Ia juga mengalami eksploitasi di atas kapal, pemukulan dan lain sebagainya. Di situlah yang membuat keluarga korban semakin cemas. Kita paksakan Irman berkomunikasi dengan keluarga di saat ada waktu. Jadi Irman sering kirim foto-foto pemukulan dan lain sebagainya, dan ini kita jadikan alat bukti nanti di prses penahanan," ujar Hariyanto.
Lebih lanjut Hariyanto mengungkapkan IU, asal Banyumas, diberangkatkan ke Gabon ketika berumur 18 tahun. Sewaktu ditampung di rumah seorang lelaki bernama kampten E di Jakarta, IU diminta membayar Rp 3 juta tiap minggu, namun dia hanya sanggup bertahan tiga hari dan mesti membayar Rp 300 ribu.
Kapten E lalu menjajakan IU dan akhirnya diterima di perusahaan bernama Sultan marine Agency, kantornya berlokasi di kawasan Rawa Badak, Jakarta Utara. Ternyata setelah diteliti, lanjut Hariyanto, Sultan Marine Agency tidak memiliki izin.
Kepada penyidik, menurut Hariyanto, IU mengaku ada sembilan kapal dan ada 15 orang yang berangkat bersama IU dan masih ada 30 WNI lagi berangkat dengan perusahaan lain.
Your browser doesn’t support HTML5
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan setiap tahun terjadi lebih dari 700 kasus perdagangan orang melibatkan warga Indonesia di luar negeri. Hampir setengahnya terkait dengan anak buah kapal, terutama yang bekerja di kapal-kapal ikan asing.
Salah satunya adalah kasus perdagangan orang dengan korban berinisial IU. Iqbal menambahkan perkara IU ini sedang ditangani oleh Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang di Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Iqbal menegaskan kasus IU tersebut mendapat penanganan serius karena melibatkan puluhan korban.
"Dengan terbongkarnya kasus ini, kita harapkan bisa ikut mencegah korban lebih lanjut di daerah asal dan juga ikut lebih lanjut mengangkat kasus-kasus lainnya yang melibatkan sindikat yang sama," tegas Iqbal.
Iqbal membenarkan ketika akan diberangkatkan IU dijanjikan gaji US$ 300 per bulan, namun setiba di Gabon, IU dipaksa menerima gaji US$160. Dia menambahkan kondisi kerja dialami IU sangat tidak manusiawi, dia bekerja lebih dari 20 jam sehari dan dalam delapan bulan tidak bersandar ke pelabuhan sama sekali.
Lebih lanjut Iqbal mengatakan Kementerian Luar Negeri kemudian mengirim perwakilan meminta kepada pemerintah Gabon untuk mengambil paksa IU. Dia mengisyaratkan terdapat lebih dari 30 warga Indonesia menjadi anak buah kapal ikan dan menjadi korban perdagangan orang seperti kasus menimpa IU. Hingga kini lanjut Iqbal pemerintah masih menelusuri identitas 30 lebih warga Indonesia tersebut dan berupaya membebaskan mereka. [fw/em]