Seorang anggota pasukan penjaga perdamaian PBB asal Kamerun yang bertugas di bagian barat laut Republik Afrika Tengah, telah terbunuh dalam ledakan ranjau, dan lima lainnya terluka, menurut pernyataan PBB.
Kawasan ini memang menjadi ajang pertempuran rutin antara kelompok-kelompok pemberontak dan tentara Republik Afrika Tengah yang didukung oleh tentara bayaran asal Rusia, Wagner Group.
Tentara dari kontingen pasukan penjaga perdamaian PBB asal Kamerun ini sedang mengawal sebuah tim dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) pada Senin (15/1), ketika ranjau itu meledak. Hal ini disampaikan perwakilan misi MINUSCA dalam sebuah pernyataan pada Rabu.
Ledakan itu terjadi ketika iringan-iringan pasukan melewati desa Mbindali, 450 kilometer di sebelah utara ibukota Bangui, tambah pernyataan itu.
BACA JUGA: PBB Serukan Lebih Banyak Titik Masuk bagi Bantuan ke Gaza
Dua anggota pasukan mengalami luka yang serius dan semuanya telah dibawa ke rumah sakit, menurut MINUSCA.
Ledakan ini terjadi sekitar 20 kilometer dari lokasi pembantaian yang terjadi pada 21 Desember lalu, terhadap 23 warga sipil oleh satuan bersenjata bagian dari kelompok pemberontak 3R.
Pasukan penjaga perdamaian PBB kemudian dikerahkan ke desa Nzakoudou, di mana pembantaian itu terjadi.
Pemberontak 3R adalah salah satu kelompok bersenjata dan geng kriminal paling kuat, yang terbentuk karena perang sipil selama bertahun-tahun yang berlangsung di kawasan itu.
Warga sipil sering menjadi korban dari konflik ini, dengan PBB menuduh semua pihak sebagai pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Perang sipil telah mengguncang Republik Afrika Tengah, salah satu negara paling miskin di dunia, sejak koalisi pasukan bersenjata yang didominasi kelompok muslim yang disebut Seleka, menggulingkan mantan presiden Francois Bozize pada 2013.
Dia kemudian membentuk milisi sendiri yang didominasi umat Kristen dan animis, yang dikenal sebagai anti-Balaka, untuk mencoba merebut kekuasaan kembali.
Campur tangan Prancis dan pengerahan pasukan keamanan PBB membuka jalan bagi pemilu pada 2016, di mana Faustin Archange Touadera menang.
Presiden Touadera mampu menahan pengepungan yang dilakukan para pemberontak terhadap ibukota Bangui pada akhir 2020, dengan bantuan dari pasukan paramiliter Rusia, tetapi sejumlah kawasan di negara itu masih berada di luar kendali pemerintah. [ns/jm]