Lembaga HAM: 2023 Menjadi Tahun Suram Bagi Pakistan

Para pendukung dari mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan memblokade jalan di saat polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa dalam demo di Karachi, Pakistan, pada 9 Mei 2023. (Foto: AP/Fareed Khan)

Hak asasi manusia di Pakistan mengalami kemerosotan dan ruang-ruang sipil menyusut hingga tingkat yang luar biasa pada tahun 2023 setelah protes politik yang diwarnai kekerasan, demikian ungkap Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP) yang independen dalam sebuah laporan baru yang mengulas kondisi tersebut tahun lalu.

“Tahun ini pengabaian terhadap Konstitusi, kepatuhan terhadap demokrasi dan ruang sipil menyusut ke titik terendah sepanjang masa,” kata laporan yang dirilis pada hari Rabu (8/5).

Dokumen tersebut mencakup berbagai masalah hak asasi manusia yang melemahkan demokrasi Pakistan tahun lalu, mulai dari pemerintahan sementara, yang tidak dipilih, yang melebihi masa jabatan yang diamanatkan oleh konstitusi hingga parlemen yang secara tergesa-gesa mengesahkan undang-undang, termasuk undang-undang yang memberikan lebih banyak kekuasaan kepada badan-badan keamanan.

Penindasan politik

Komisi tersebut mengatakan bahwa situasi hak asasi manusia mencapai titik terendah baru pada tanggal 9 Mei 2023, “hari yang menentukan” ketika para pendukung mantan perdana menteri Imran Khan menyerbu instalasi militer dan pemerintah untuk memprotes penahanannya.

“Negara membalas dengan tindakan keras dan penangkapan massal terhadap ribuan pekerja dan pemimpin partai, termasuk perempuan,” kata laporan itu. “Banyak di antaranya yang ditahan di tahanan militer, tidak diizinkan untuk bertemu dengan keluarga mereka. Internet dan media sosial ditutup.”

BACA JUGA: Pakistan Bertekad akan Tetap Bangun Pipa Gas dengan Iran, Meski Ada Tekanan

Laporan tersebut mencatat setidaknya 15 kasus penutupan layanan internet pada tahun lalu. Setelah kekerasan pada tanggal 9 Mei, pemerintah menangguhkan layanan internet selama hampir empat hari di sebagian besar wilayah Pakistan.

HRCP mengatakan bahwa pihak berwenang berulang kali melarang pertemuan lebih dari empat orang dalam upaya untuk membatasi kegiatan politik.

Orang hilang

Menurut pemantauan HRCP terhadap laporan media mengenai orang hilang, 82 pria dan tujuh wanita dihilangkan secara paksa selama tahun 2023. Laporan tersebut mengatakan beberapa penghilangan paksa bersifat jangka pendek, dengan target anggota partai politik.

Merujuk pada data yang diberikan oleh Komisi Penyelidikan Penghilangan Paksa, HRCP mengatakan hampir 2.300 kasus orang hilang masih belum terselesaikan pada akhir tahun lalu.

Gerakan protes selama berminggu-minggu yang dipimpin oleh para perempuan, Baloch yang menuntut pemulihan anggota keluarga mereka yang hilang, pulang dengan tangan hampa dari Islamabad setelah pembicaraan dengan para pejabat dalam pengurus pemerintahan sementara terhenti. Para pengunjuk rasa dibubarkan secara brutal setibanya di ibu kota.

“Para perempuan Baloch bahkan tidak diberi kesempatan untuk berbicara,” kata Munizae Jahangir, salah seorang ketua HRCP.

Sambil menuntut pertanggungjawaban sejumlah lembaga keamanan atas penghilangan paksa, ketua komisi, Asad Iqbal Butt, mengatakan bahwa tindakan tersebut melanggar serangkaian hak-hak sipil.

Sejumlah aktivis Baloch memegang foto dari kerabat mereka yang hilang dalam aksi protes di islamabad, Pakistan, pada 25 Desember 2023. (Foto: AP/Anjum Naveed)

Badan-badan keamanan “menganggap diri mereka sebagai teman Pakistan, tetapi setiap kali saya mengadakan pertemuan dengan mereka, saya mengatakan kepada mereka, 'Anda bukan teman Pakistan. Anda terlibat dalam permusuhan dengan Pakistan,'” kata Butt.

Dia mendesak pengadilan untuk meminta para korban penghilangan paksa yang telah ditemukan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga yang menahan mereka.

“Kecuali jika mereka yang menculik diadili, kecuali jika mereka dihukum, masalah ini tidak dapat diselesaikan,” kata Butt, seraya menambahkan bahwa masalah penghilangan paksa telah merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara.

Tanggapan militer

Dalam sebuah konferensi pers yang jarang terjadi sehari sebelumnya, juru bicara militer Mayor Jenderal Ahmed Sharif Chaudhry membela tindakan keras terhadap Partai Tareek-e-Insaf Pakistan, atau PTI.

“Jika, di negara mana pun, sebuah serangan dilancarkan terhadap tentaranya, simbol-simbol para martir dihina, rumah pendirinya dibakar, kebencian akan tercipta di antara tentara dan masyarakat. Dan jika orang-orang di belakangnya tidak diadili, maka ada tanda tanya pada sistem peradilan negara tersebut,” kata Chaudhry kepada media.

Chaudhry yang menjadi Kepala Hubungan Masyarakat Antar-Layanan itu mendukung permintaan PTI untuk membentuk komisi yudisial untuk menyelidiki peristiwa pada 9 Mei 2023 itu. Namun, ia mengatakan bahwa komisi tersebut juga harus menyelidiki serangan-serangan yang dilakukan oleh partai tersebut di masa lalu terhadap properti-properti pemerintah. Menyebut PTI sebagai kelompok anarkis, juru bicara militer menuntut partai tersebut untuk “meminta maaf secara terbuka.”

BACA JUGA: Pakistan: Serangan yang Tewaskan Insinyur China Direncanakan di Afghanistan

Berbicara kepada wartawan di pengadilan pada hari Rabu, Khan mengatakan ia seharusnya yang menerima permintaan maaf. “Saya seharusnya yang dimintai maaf, karena saya telah ditangkap secara ilegal,” kata Khan, yang telah dipenjara sejak 5 Agustus 2023, atas berbagai tuduhan korupsi yang telah dia bantah.

Saat berbicara kepada media pada hari Selasa, Chaudhry mengatakan bahwa tidak adil untuk menyalahkan penghilangan paksa pada lembaga penegak hukum, karena beberapa orang yang diduga hilang ditemukan terlibat dalam terorisme dan kegiatan ilegal lainnya atau berada di penjara swasta yang dijalankan oleh milisi lokal.

Dia mengatakan bahwa masalah ini serius dan kompleks, namun menolak perdebatan yang mengitarinya sebagai propaganda oleh “elemen politik tertentu, elemen media, LSM, dan beberapa pihak yang memiliki hubungan dengan luar negeri.”

“Di sini [di Pakistan] ada propaganda yang berlebihan mengenai masalah ini,” kata Chaudhry, dengan alasan bahwa cakupan masalah di Pakistan lebih kecil daripada di banyak negara lain.

Butt pada hari Rabu menepis pernyataan Chaudhry sebagai “bodoh”, dan mengatakan bahwa orang-orang berseragam terlihat menculik orang.

Jahangir menyerukan undang-undang yang lebih kuat untuk menentukan mandat badan-badan keamanan. Ia mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Internasional PBB untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. [my/jm]