Beberapa lembaga hak asasi manusia mendorong pemerintah Indonesia mengungkap pelaku peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dalam hal ini peristiwa 1965-1966, agar hal serupa tidak terjadi di masa mendatang. Hal ini sebagai respons atas rencana kegiatan simposium yang akan dilakukan pemerintah.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar di Hotel Grand Hyatt Jakarta Rabu (13/4) menegaskan, kontras meminta agar pemerintah tidak hanya mengambil langkah rekonsiliasi tetapi juga penyelesaian hukum dalam penuntasan kasus 1965-1966.
"Ya, kita tetap nantang negara untuk lebih bertanggung jawab, eksplisit lebih maju mengambil langkah-langkah yang tegas. Non yudisial oke, tapi dia bukan pilihan bukan negasi, tapi dia saling melengkapi dengan aspek hukum," ujar Haris.
Kasus 1965-1966 tambah Haris, menyimpan luka yang sangat dalam yang dirasakan para korban atau keluarga korban, yang anggota keluarganya dibunuh atau ditangkap tanpa pengadilan semasa pemerintahan mantan Presiden Soeharto.
"Soal aspek truth itu penting dalam soal membongkar persoalan 65-66. Dan itu penting untuk diselesaikan karena itu mempunyai luka yang cukup dalam. Dan aspek truth itu penting bukan hanya buat korban, tetapi juga buat bangsa," imbuhnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Praktek kekerasan yang berlangsung selama periode 1965-1966 menurut Haris menjadi awal dari pola kekerasan yang kerap berlangsung dalam perpolitikan Indonesia.
"(Kasus) 65-66 itu mempunyai dampak magnitude yang besar untuk adanya praktek kekerasan selama 40 tahun bahkan sampai hari ini. Nah, jadi ada banyak praktek kekerasan di dalam politik Indonesia yang itu memang pencanangannya itu di 65-66 itu," lanjut Haris.
Sementara itu, Lembaga pemerhati HAM internasional Human Rights Watch (HRW) mendesak pemerintah Indonesia agar ada proses untuk menangani sejarah kejahatan peristiwa 1965-1966.
Direktur Eksekutif HRW Kenneth Roth mengatakan, pemerintah Indonesia harus membuka mata terhadap masalah ini.
"Pertanyaannya adalah, apa yang sebenarnya terjadi pada 1965 – 1966. Peristiwa ini sepertinya diabaikan, karena dianggap sudah berlalu lama. Seharusnya, ada pendekatan baru sebagai langkah penting untuk menuntaskan. Tidak cukup jika hanya meminta maaf kepada keluarga korban. Lagipula, ini bukan kesalahan pemerintah saat ini, namun apa yang terjadi pada Pemerintahan Orde Baru," ungkap Kenneth.
Ia juga berkata, pihak HRW telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan pemerintah untuk mencari opsi keadilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Dia berharap agar pemerintah melaksanakan proses rekonsiliasi secara jujur dan terbuka.
Selain itu, Kenneth berharap agar pemerintah menindaklanjuti secara serius, surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kepada Presiden Amerika Serikat, untuk membuka arsip mengenai keterkaitan negara paman sam dengan peristiwa yang terjadi di Indonesia, khususnya pada tahun 1965 dan 1966.
Rencananya pada 18-19 April mendatang akan dilaksanakan simposium dan rekonsiliasi peristiwa 1965, hal ini tentu sangat berarti bagi keluarga korban. Haris Azhar melihat simposium ini belum akan menjadi penentu langkah kongkrit yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam menjawab penyelesaian peristiwa 1965-1966.
"Acara itu lebih pada mendiskusikan aspek antropologis, historis dan psikologis dari peristiwa 1965-1966. Jadi janji di Nawacita nya (Presiden Jokowi) belum jelas mau ngapain," papar Haris.
Human Rights Watch sebelumnya mendesak Pemerintah Amerika Serikat merilis data rahasia perihal kasus pembantaian massal tahun 1965-1966 yang terjadi di Indonesia. HRW juga minta AS membeberkan peran rahasia pejabat Amerika kala itu, mengingat AS sangat berkepentingan membendung pengaruh komunis Soviet dan China di Asia Tenggara.
Kasus pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun organisasi sayapnya, berlangsung pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau pembunuhan 6 perwira tinggi dan 1 perwira menengah TNI Angkatan Darat oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Dewan Revolusi.
Komnas HAM dalam laporannya pada 2012 menyebutkan ada bukti telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa itu. Jumlah korban tewas saat itu diperkirakan antara 500.000 hingga tiga juta jiwa. [aw/jm]