Apa yang terbayang di benak ketika mendengar istilah donor mata? Jika Anda membayangkan bola mata Anda diberikan kepada orang lain, Anda tidak sendirian. Sebetulnya, donor mata hanya mengambil kornea atau lapisan terluar saja, sehingga tidak merubah tampilan muka pendonor. Itu pun dilakukan usai pendonor meninggal dunia. Berikut penjelasan Eddi Brokoli, aktor yang juga duta donor mata Indonesia.
“Masih banyak yang belum tahu. Jadi donor mata teh gimana Kang Eddi? Diambil matanya? Iya, korneanya aja. Atuh nanti kita nggak bisa melihat? Atuh(diambilnya) nanti kalau sudah meninggal. Saya juga nggak mau atuh donor kornea mata kalau saya masih hidup mah, saya nggak mau kehilangan penglihatan selagi hidup,” ujarnya dengan nada bercanda.
Donor mata memang menjadi hal baru bagi banyak orang. Eddi bercerita, orang butuh waktu untuk menjadi pendonor mata. Ada yang langsung tergerak, ada juga yang menunda-nunda meski sudah tahu.
“Ngobrol 15 menit di mini mart di pom bensin—macam-macam pertimbangan orang kan banyak—besoknya dia langsung daftar. Ada juga yang sudah cukup tahu, OK sudah tahu semuanya, tapi belum tergerak ke Bank Mata untuk mendaftarkan, ada juga,” kisah pria yang sudah terdaftar jadi pendonor ini.
Bank Mata mencatat, ada 3 persen penduduk Indonesia yang mengalami kebutaan. Dari seluruh pasien, 80 persennya merupakan penderita katarak, sementara 4,5 persen lainnya mengalami kerusakan kornea. Menurut Ketua Bank Mata Jawa Barat, Alma Lusiyati, angka ini diperkirakan lebih tinggi karena hal ini bisa terjadi pada siapa saja.
“Mana yang bakal ketabrak, mana orang yang akan tercolok sesuatu. Itu kan tidak bisa diduga. Itu masih gunung es, karena masih banyak masyarakat yang tidak paham ‘oh ternyata ini bisa diperbaiki dengan cara transplantasi’. Kalau semua sudah sadar, pasti akan lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Kabar baiknya, kerusakan kornea ini bisa disembuhkan sepenuhnya lewat donor mata. “Salah satu yang tidak bisa sintetis adalah kornea mata kita. Sehingga kita wariskan agar itu bisa bermanfaat bagi saudara-saudara kita yang korneanya rusak, sehingga harus diganti kornea yang lain supaya bisa melihat seperti sedia kala,”
Dokter mata ini mengatakan, meski donor mata masih dianggap baru, semakin banyak orang yang tergerak untuk jadi pendonor.
“Mungkin informasi saja. Saat ini kebanyakan mereka mungkin sudah pada sadar hanya bingung (harus) ke mana ya. Beda sama donor darah sudah pada tahu,” jelasnya.
RS Mata Cicendo di Bandung, Jawa Barat, yang ditunjuk jadi pusat mata nasional, mencatat jumlah pendonor mata mencapai 13.000 orang. Angka ini seolah besar, namun berbeda dengan donor darah, donor mata hanya dilakukan ketika pendonor meninggal dunia. Sehingga, bagi 794 calon penerima yang dicatat Bank Mata, ketersediaan kornea donor tidak dapat ditentukan. Tahun lalu, Bank Mata berhasil memasang 99 pasang kornea dari pendonor.
Tenjowaringin Pelopor Desa Siaga Donor Mata
Di tengah situasi itu, Desa Tenjowaringin, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, mendeklarasikan jadi desa siaga donor mata. Dari 5.600-an warga, ada 2.000 orang yang menyatakan siap memberikan korneanya di masa depan. Deklarasi Sabtu (30/12/2018) yang dihadiri pemerintah kabupaten itu membuat Tenjowaringin jadi desa pertama di Indonesia yang siaga donor mata.
Ketua Keluarga Donor Mata (KDM) Tenjowaringin, Dodi Kurniawan, mengatakan dari 2.000 yang menyatakan siap, 1.344 orang sudah resmi terdaftar. Sebagian dari mereka juga sudah memiliki kartu pendonor mata.
Namun meyakinkan sepertiga populasi desa jadi pendonor bukanlah hal mudah. Warga Tenjowaringin awalnya ragu dengan donor mata. Karena hampir seluruh penduduknya muslim, warga ingin memastikan apakah hal itu dibolehkan ajaran agama.
“Kalau diambil bola mata, berarti cacat dong mayatnya. Lalu kita terangkan kepada mereka. Kita juga menggandeng ustadz-ustadz dan kyai yang bisa menjelaskan bahwa tidak semua bagian tubuh kita apabila diambil itu masuk kategori mencederai mayat. Rupanya itu cukup efektif dan bisa diterima,” pungkasnya.
Upaya menggaet pemuka agama itu berlanjut ke pengajian-pengajian. Akhirnya, semakin banyak orang yang tergerak jiwa sosialnya, seperti Cecep, yang bersama 4 anggota keluarganya sudah daftar jadi pendonor.
“Waktu itu ada pengajian di masjid, ada informasi donor mata. Dan waktu itu banyak yang daftar donor, dan melihat Sudah ada yang donor. Dan saya merasa tertarik untuk memberikan kornea mata saya kepada orang yang tidak melihat,” ujar pria berusia 48 tahun ini.
Donor mata di desa ini sudah berlangsung sejak 2016. Sampai saat ini, total ada 13 pendonor yang korneanya telah diambil.
Di awal-awal program ini, warga harus menunggu petugas dari RS Mata Cicendo Bandung yang menempuh perjalanan 3-4 jam ke Tasikmalaya. Saat ini, sudah ada dua petugas kesehatan di Tenjowaringin yang bisa mengambil kornea mata, yang dikenal sebagai eksisi, secara mandiri. Hal ini memudahkan warga karena biasanya keluarga pendonor ingin segera jenazah dimakamkan.
Namun satu hal masih menjadi tantangan, siapa yang mengantarnya ke Bandung? Salah satu warga, Endang, mengatakan masih menyusun sistem pengantaran itu.
“Itu yang belum ada. Kita akan coba berkomunikasi dengan KDM dan panitia deklarasi tersebut, mudah-mudahan ada yang bersedia,” paparnya yang pernah diminta mengantarkan kornea.
KDM Tenjowaringin dan Bank Mata terus berupaya membuat sistem ini lebih efisien. Semua dibangun supaya kornea mata semakin cepat sampai kepada yang membutuhkan. (rt/em)