Lindungi Ekosistem Karst, Lestarikan Habitat 13 Spesies di Bangkep, Sulteng

  • Yoanes Litha

Burung Gagak Banggai (Corvus unicolor) yang sempat dianggap telah punah, namun ditemukan kembali di habitatnya di pulau Peling, Banggai Kepulauan Sulteng. (Foto : Riza Marlon/Burung Indonesia)

Pemerintah dan DPRD Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) di Sulawesi Tengah belum lama ini menyepakati Peraturan Daerah Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst untuk menjaga kelestarian 13 spesies endemik terancam punah di wilayah itu, termasuk gagak banggai yang sempat dianggap punah, namun ditemukan kembali keberadaanya di pulau Peling pada tahun 2007.

Ferdy Salamat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai Kepulauan berbicara kepada VOA (16/12) mengatakan peraturan daerah itu bertujuan untuk mendukung perlindungan dan pengelolaan ekosistem karst di Kabupaten Banggai Kepulauan. Dia menjelaskan Karst memiliki fungsi penting untuk menjamin ketersediaan air bersih melalui sumber-sumber mata air bagi pulau-pulau di wilayah itu.

Your browser doesn’t support HTML5

Lindungi Ekosistem Karst untuk Lestarikan Habitat 13 Spesies di Bangkep, Sulteng

Kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi itu juga sekaligus menjadi rumah bagi sedikitnya 13 spesies endemik terancam punah. Satu diantaranya adalah gagak banggai (Corvus unicolor) yang sempat dianggap telah punah, namun kemudian ditemukan keberadaannya di pulau Peling pada tahun 2007 oleh dua peneliti biologi konservasi dari Perhimpunan Ornitolog Indonesia, Yunus Masala dan Dr Mochamad Indrawani. Gagak Banggai berukuran sedang dengan panjang 39 cm dan benar-benar hitam dengan iris mata yang gelap dan ekor pendek. Jejak keberadaan gagak banggai sebelumnya hanya diketahui melalui spesimen jenis burung itu yang tersimpan di museum alam Amerika di New York. Badan Konservasi Dunia (IUCN) merubah status burung gagak banggai dari mungkin telah punah menjadi kritis pada tahun 2007.

“Satwa endemik Banggai Kepulauan yaitu gagak banggai yang ada di pulau Peling ini yang dinyatakan telah punah, ternyata masih ada keberadaannya,” kata Ferdy Salamat.

Tarsius Pulau Peling (Tarsius Tarsius pelingenses), primata nokturnal yang bisa memutar kepalanya 180 derajat. (Foto: Riza Marlon/Burung Indonesia)

Ke-13 spesies endemik yang terancam punah meliputi empat spesies burung, empat species mamalia, satu species herbatofauna, satu spesies kupu kupu dan tiga species tumbuhan. Selain Gagak banggai, juga terdapat Tarsius pelingenses dan Celepuk peleng yang terancam karena habitat aslinya kian menyusut dan populasinya berkurang karena maraknya tindakan perburuan.

Terdiri atas 229 pulau, kabupaten Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah merupakan kawasan yang 97 persennya (232.843 hektare) adalah ekosistem karst. Dalam banyak literatur, karst diartikan sebagai bentang alam khas dengan bentuk hamparan/bukit batuan gamping yang dicirikan oleh drainase permukaan yang langka. Pada bagian atas yang sebagian besar telah mengalami pelapukan (solum) terdapat tanah yang tipis dan hanya setempat-setempat.

Melalui perda itu, pemerintah setempat berupaya mencegah berlanjutnya kerusakan hutan akibat pembukaan lahan. Rata-rata setiap tahun lima ribu hektar hutan rusak akibat pembukaan lahan. Selain mengancam habitat satwa endemik, kerusakan hutan dalam enam tahun terakhir menyebabkan keberadaan mata-mata air debit-nya semakin mengecil.

“Itu tutupan lahannya agak mengkhawatirkan, itu kurang lebih sekitar lima ribu hektar setiap tahun yang hilang”ungkap Ferdy Salamat.

Ferdy menambahkan peraturan daerah itu juga bertujuan untuk menyiapkankelembagaan di 141 desa untuk mengelola ekowisata dan ketahanan pangan.

Lanskap desa Balayon di kecamatan Liang, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, Indonesia dengan latar hutan pegunungan di ekosistem karst. (Foto: Ichonk/ Perkumpulan Salanggar)


Model pengelolaan ditingkat tapak mengadopsi pendekatan program kemitraan wallacea di desa Balayon dan Boyomoute, di mana melalui program konservasi keragaman hayati yang diinisiasi oleh Burung Indonesia dengan mitra lokalnya Perkumpulan Salanggar yang berhasil menyusun tata guna lahan desa bersama masyarakat.

Andi Faisal Alwi, Sulawesi Program Officer dari Burung Indonesia mengatakan tata guna lahan di kedua desa disusun berdasarkan fungsi dan peruntukan lahan melibatkan masyarakat dan pemerintah desa. Pewilayahan bentang alam di desa-desa tersebut dibagi dalam tiga zona, yaitu zona lindung desa yang merupakan daerah tangkapan air dan habitat spesies penting. Sedangkan area pertanian/perkebunan ditetapkan sebagai zona produksi dan area pemukiman sebagai zona non-produksi.

Masyarakat di kedua desa itu juga bersepakat mengubah pola pertanian monoculture yang sebelumnya membutuhkan pembukaan lahan, menjadi model agroforestri dan permaculture.

“Sehingga ketika pendekatan pemodelan permaculture ini berhasil petani kemudian mulai berkurang tergantung pada upaya-upaya memperluas lahan karena melihat wilayah pekarangan mereka sudah cukup memadai untuk dikelolah,” jelas Andi.

Tiga orang anak melakukan kegiatan memetik buah tomat dari hasil kegiatan pertanian permakultur di desa Boyomoute, Kabupaten Bangkep, Sulawesi Tengah. (Foto: Ichonk/ Perkumpulan Salanggar)

Andi mengatakan keberadaan tanah di ekosistem karst yang memiliki ketebalan yang tipis, membuat kegiatan pertanian model monokultur untuk tanaman palawija, tidak dapat dilakukan dalam waktu yang lama, akibatnya petani akan membuka lahan baru di kawasan hutan. Pembukaan lahan dalam waktu yang lama berdampak pada berkurangnya sumber mata air tawar yang mengering atau debitnya berkurang.

Keberadaan sumber mata air yang mengering tersebut menjadi pintu masuk dari program kemitraan wallacea Burung Indonesia dan Perkumpulan Salanggar pada tahun 2017 untuk menjelaskan arti penting kelestarian hutan di ekosistem karst kepada masyarakat. Ketika masyarakat bersepakat untuk menetapkan zonasi kawasan lindung di desa untuk menjaga kelestarian hutan agar sumber mata air di ekosistem karst tidak mengering, maka habitat bagi gagak banggai serta satwa penting lainnya di wilayah itu akan tetap terjaga.[yl/ab]