Linguis AS sedang berupaya menghidupkan lagi bahasa-bahasa yang sudah lama punah, dan upaya-upaya itu bukan hanya untuk tujuan akademis semata.
Bahasa Latin dianggap telah "mati" karena bahasa ini telah berhenti berkembang, tetapi jutaan orang masih mempelajarinya di sekolah. Itu karena bahasa Latin digunakan dalam bidang kedokteran dan hukum, dan merupakan akar banyak kata dalam bahasa Spanyol, Portugis, Prancis, Rumania dan Inggris.
Jadi ada istilah bahasa yang telah mati seperti “bahasa Latin” dan ada bahasa yang benar-benar mati: yakni benar-benar punah, tidak pernah lagi diucapkan, seperti ratusan bahasa di Amerika, atau tidak pernah ditemukan dalam bentuk tulisan, karena hampir semua bahasa itu tidak pernah punya tradisi tulis.
Suku-suku yang menggunakan bahasa-bahasa itu sama sekali musnah atau mengadopsi bahasa Inggris atau Prancis yang lebih dominan. Jadi, para orang tua tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyang mereka, dan oleh karenanya tidak mengajarkan bahasa-bahasa itu kepada anak-cucu mereka.
Tetapi, ada upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk menghidupkan kembali banyak bahasa yang telah mati, dan upaya-upaya itu bukan hanya untuk tujuan akademis semata. Revitalisasi bahasa kuno merupakan kebanggaan tersendiri. Misalnya, kita saksikan keberhasilan pelestarian bahasa Ibrani yang sebelumnya hanya digunakan untuk doa dan studi, tetapi sekarang menjadi bahasa nasional Israel. Ibrani sekarang digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh jutaan orang. Namun tidak demikian dengan bahasa Latin di luar gereja di mana pun di dunia.
Menemukan kembali bahasa yang telah hilang bisa sangat berguna, seperti ketika para ilmuwan mampu merekonstruksi bahasa suku Indian Algonquian Virginia yang telah lama mati, yang digunakan oleh para pemeran tokoh suku itu dengan cukup baik dalam film berjudul “The New World” tahun 2005.
Tetapi, menghidupkan kembali bahasa yang telah mati merupakan pekerjaan yang sulit, terutama dengan tidak tersedianya manuskrip dalam prasasti, gulungan, atau buku, serta tidak ada daftar tata bahasa dan sama sekali tidak ada tulisan sebagai bahan acuan.
Ketika kita mempelajari bahasa Amerindian (bahasa-bahasa yang digunakan oleh suku-suku penduduk asli Amerika), para pakar harus bergantung pada catatan-catatan kasar para pemukim awal dari Eropa, yang berusaha mencatat beberapa kata sebagaimana terdengar di telinga mereka ketika diucapkan oleh suku-suku asli Amerika, dan kata-kata yang terdengar itu dieja sesuka hati mereka.
Menurut para ahli bahasa, lebih dari 500 dari sekitar 800 bahasa Amerindian kini hampir mati, atau telah punah sama sekali karena hanya sedikit orang tua yang menggunakan bahasa-bahasa itu.
Masalah ini tidak hanya terjadi di Amerika. Linguis senior Smithsonian Institution, Ives Goddard, memperkirakan tanpa upaya bersama untuk menyelamatkan dan mengajarkan bahasa-bahasa kesukuan kepada kaum muda, maka setengah dari enam ribu bahasa yang bertahan di dunia kini akan punah dalam abad ini, atau "mortuus" seperti dikatakan dalam bahasa Latin, jika kita gunakan lagi bahasa itu.
Jadi ada istilah bahasa yang telah mati seperti “bahasa Latin” dan ada bahasa yang benar-benar mati: yakni benar-benar punah, tidak pernah lagi diucapkan, seperti ratusan bahasa di Amerika, atau tidak pernah ditemukan dalam bentuk tulisan, karena hampir semua bahasa itu tidak pernah punya tradisi tulis.
Suku-suku yang menggunakan bahasa-bahasa itu sama sekali musnah atau mengadopsi bahasa Inggris atau Prancis yang lebih dominan. Jadi, para orang tua tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyang mereka, dan oleh karenanya tidak mengajarkan bahasa-bahasa itu kepada anak-cucu mereka.
Tetapi, ada upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk menghidupkan kembali banyak bahasa yang telah mati, dan upaya-upaya itu bukan hanya untuk tujuan akademis semata. Revitalisasi bahasa kuno merupakan kebanggaan tersendiri. Misalnya, kita saksikan keberhasilan pelestarian bahasa Ibrani yang sebelumnya hanya digunakan untuk doa dan studi, tetapi sekarang menjadi bahasa nasional Israel. Ibrani sekarang digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh jutaan orang. Namun tidak demikian dengan bahasa Latin di luar gereja di mana pun di dunia.
Menemukan kembali bahasa yang telah hilang bisa sangat berguna, seperti ketika para ilmuwan mampu merekonstruksi bahasa suku Indian Algonquian Virginia yang telah lama mati, yang digunakan oleh para pemeran tokoh suku itu dengan cukup baik dalam film berjudul “The New World” tahun 2005.
Tetapi, menghidupkan kembali bahasa yang telah mati merupakan pekerjaan yang sulit, terutama dengan tidak tersedianya manuskrip dalam prasasti, gulungan, atau buku, serta tidak ada daftar tata bahasa dan sama sekali tidak ada tulisan sebagai bahan acuan.
Ketika kita mempelajari bahasa Amerindian (bahasa-bahasa yang digunakan oleh suku-suku penduduk asli Amerika), para pakar harus bergantung pada catatan-catatan kasar para pemukim awal dari Eropa, yang berusaha mencatat beberapa kata sebagaimana terdengar di telinga mereka ketika diucapkan oleh suku-suku asli Amerika, dan kata-kata yang terdengar itu dieja sesuka hati mereka.
Menurut para ahli bahasa, lebih dari 500 dari sekitar 800 bahasa Amerindian kini hampir mati, atau telah punah sama sekali karena hanya sedikit orang tua yang menggunakan bahasa-bahasa itu.
Masalah ini tidak hanya terjadi di Amerika. Linguis senior Smithsonian Institution, Ives Goddard, memperkirakan tanpa upaya bersama untuk menyelamatkan dan mengajarkan bahasa-bahasa kesukuan kepada kaum muda, maka setengah dari enam ribu bahasa yang bertahan di dunia kini akan punah dalam abad ini, atau "mortuus" seperti dikatakan dalam bahasa Latin, jika kita gunakan lagi bahasa itu.