Pemerintah Jakarta harus mampu menempatkan kawasan permukiman dan kawasan yang menjadi pusat pergerakan ekonomi seperti industri serta perkantoran, secara terpisah.
JAKARTA —
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan meski ide-ide Gubernur Jakarta Joko Widodo dalam mengatasi banjir perlu dihargai, seperti melakukan sodetan Kali Ciliwung, namun upaya tersebut merupakan solusi jangka pendek sehingga perlu upaya lain.
Peneliti Jan Sopaheluwakan mengatakan banjir akan terus terjadi di Jakarta dan sekitarnya, serta meluas ke daerah-daerah lain jika penyelesaian menggunakan konsep jangka pendek.
Kepada pers usai diskusi, Kamis (23/1), ia mengatakan saat ini tim peneliti LIPI sedang membuat konsep untuk selanjutnya dibicarakan dan dimatangkan bersama pemerintah mengenai Jakarta tanpa banjir pada 2030.
Menurut LIPI ada dua hal yang dinilai perlu segera dilakukan untuk mengantisipasi banjir, yaitu pembangunan ke atas (gedung-gedung) dan pembangunan ke bawah (resapan air, lahan pertanian) harus berimbang.
Kedua, pemerintah harus membagi zona khusus untuk pemukiman penduduk dan untuk pergerakan ekonomi (perkantoran) secara terpisah karena karakter untuk dua area tersebut berbeda dalam konsep tata kota.
Jan mengakui prosesnya tidak mudah, namun ditegaskannya terobosan baru sangat diperlukan untuk mengubah Jakarta ke arah lebih baik dibanding saat ini. Perbaikan kota Jakarta, menurutnya, otomatis akan berdampak positif terhadap kota-kota lain. Intinya, ditegaskannya, secara alami air akan mengalir ke laut sehingga tidak boleh dihalangi.
“Satu, kita kelola kepadatan ruang kita itu, jadi kita harus naik ke atas dan ke bawah. Yang kedua, kita harus melihat Jakarta lebih dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cikampek, dan Cilegon dalam satu kesatuan. Jalur utara itu untuk ekonomi, jalur yang selatan itu Jakarta, Bandung, Bogor dan Sukabumi, itu sebagai ketahanan pangan kita, ketahanan air dan sebagainya, back up untuk keberlanjutan kita, “ ujar Jan.
Ia menambahkan bahwa jelas persoalan ini melibatkan ketiga provinsi, Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Andaikata Jakarta ingin menjadi kota global, ujarnya, kita harus berpikir bahwa kita juga harus ada dinamika dengan Singapura, dengan Manila, Bangkok dan sebagainya.
“Nah ini jadi lebih dari hanya sekedar persoalan Jakarta, apalagi persoalan gubernur saja, siapa pun juga gubernurnya,” ujarnya.
Jan menambahkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama dengan para ahli dan pihak swasta untuk berupaya memperbaiki kondisi kota Jakarta dan sekitarnya serta wilayah-wilayah lain.
“Saya optimis sekali karena kalau perkara keahlian kita tidak kurang. Dengan merelokasi daerah-daerah yang terus menerus terendam, dan juga tidak memberikan nilai tambah yang tinggi, kita memerlukan pemerintahan yang memang konsisten dengan rencana jangka panjang. Di sisi lain industri khususnya industri properti, industri jasa saya kira sudah siap, usulan untuk 2030 itu sesuatu yang realistis dan kita bisa bisa realisasikan,” ujarnya.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriyatna berpendapat, meski banjir yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor, pesatnya pembangunan properti dan industri berkontribusi cukup besar terhadap terjadinya banjir.
Ia berharap pemerintah menjalankan fungsi pengawasan pada setiap pembangunan properti dan industri.
“Harus dilakukan investigasi kembali terhadap semua perizinan yang sudah dikeluarkan, siapa perusahaan-perusahaan berkelakuan baik dan telah menjalankan keseimbangan, prinsip-prinsip berkelanjutan, dikasih penilaian tuh. Jadi orang bukan sekedar bisa mengeksploitasi, sekedar mengambil keuntungan dan meninggalkan kerusakan, tapi juga diberikan hadiah kalau mereka betul-betul menjalankan kebijakan aturan investasinya sesuai dengan prosedur,” ujarnya.
Peneliti Jan Sopaheluwakan mengatakan banjir akan terus terjadi di Jakarta dan sekitarnya, serta meluas ke daerah-daerah lain jika penyelesaian menggunakan konsep jangka pendek.
Kepada pers usai diskusi, Kamis (23/1), ia mengatakan saat ini tim peneliti LIPI sedang membuat konsep untuk selanjutnya dibicarakan dan dimatangkan bersama pemerintah mengenai Jakarta tanpa banjir pada 2030.
Menurut LIPI ada dua hal yang dinilai perlu segera dilakukan untuk mengantisipasi banjir, yaitu pembangunan ke atas (gedung-gedung) dan pembangunan ke bawah (resapan air, lahan pertanian) harus berimbang.
Kedua, pemerintah harus membagi zona khusus untuk pemukiman penduduk dan untuk pergerakan ekonomi (perkantoran) secara terpisah karena karakter untuk dua area tersebut berbeda dalam konsep tata kota.
Jan mengakui prosesnya tidak mudah, namun ditegaskannya terobosan baru sangat diperlukan untuk mengubah Jakarta ke arah lebih baik dibanding saat ini. Perbaikan kota Jakarta, menurutnya, otomatis akan berdampak positif terhadap kota-kota lain. Intinya, ditegaskannya, secara alami air akan mengalir ke laut sehingga tidak boleh dihalangi.
“Satu, kita kelola kepadatan ruang kita itu, jadi kita harus naik ke atas dan ke bawah. Yang kedua, kita harus melihat Jakarta lebih dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cikampek, dan Cilegon dalam satu kesatuan. Jalur utara itu untuk ekonomi, jalur yang selatan itu Jakarta, Bandung, Bogor dan Sukabumi, itu sebagai ketahanan pangan kita, ketahanan air dan sebagainya, back up untuk keberlanjutan kita, “ ujar Jan.
Ia menambahkan bahwa jelas persoalan ini melibatkan ketiga provinsi, Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Andaikata Jakarta ingin menjadi kota global, ujarnya, kita harus berpikir bahwa kita juga harus ada dinamika dengan Singapura, dengan Manila, Bangkok dan sebagainya.
“Nah ini jadi lebih dari hanya sekedar persoalan Jakarta, apalagi persoalan gubernur saja, siapa pun juga gubernurnya,” ujarnya.
Jan menambahkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama dengan para ahli dan pihak swasta untuk berupaya memperbaiki kondisi kota Jakarta dan sekitarnya serta wilayah-wilayah lain.
“Saya optimis sekali karena kalau perkara keahlian kita tidak kurang. Dengan merelokasi daerah-daerah yang terus menerus terendam, dan juga tidak memberikan nilai tambah yang tinggi, kita memerlukan pemerintahan yang memang konsisten dengan rencana jangka panjang. Di sisi lain industri khususnya industri properti, industri jasa saya kira sudah siap, usulan untuk 2030 itu sesuatu yang realistis dan kita bisa bisa realisasikan,” ujarnya.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriyatna berpendapat, meski banjir yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor, pesatnya pembangunan properti dan industri berkontribusi cukup besar terhadap terjadinya banjir.
Ia berharap pemerintah menjalankan fungsi pengawasan pada setiap pembangunan properti dan industri.
“Harus dilakukan investigasi kembali terhadap semua perizinan yang sudah dikeluarkan, siapa perusahaan-perusahaan berkelakuan baik dan telah menjalankan keseimbangan, prinsip-prinsip berkelanjutan, dikasih penilaian tuh. Jadi orang bukan sekedar bisa mengeksploitasi, sekedar mengambil keuntungan dan meninggalkan kerusakan, tapi juga diberikan hadiah kalau mereka betul-betul menjalankan kebijakan aturan investasinya sesuai dengan prosedur,” ujarnya.