Lonjakan Penggunaan Antiobiotik pada Hewan Picu Ketakutan Akan Bakteri Super

Penggunaan antibiotik pada hewan dapat memicu munculnya bakteri yang resisten terhadap obat, yang dapat menular pada manusia.

Penggunaan antibiotik pada hewan mendorong kita lebih dekat pada periode dimana infeksi biasa dapat menjadi hukuman mati karena mereka tidak lagi merespon obat.

Negara-negara berkembang memompa antiobitik pada hewan ternak dengan tingkat tinggi, meningkatkan risiko menciptakan “super bugs” atau bakteri super yang kebal terhadap obat, menurut para ilmuwan Senin (22/3).

Penggunaan antibiotik pada hewan diperkirakan melonjak sebesar dua pertiga secara global antara 2010 dan 2030, dan naik dua kali lipat di raksasa-raksasa ekonomi baru seperti China, Brazil, India dan Russia, menurut sebuah studi di Princeton University.

Studi itu memperingatkan bahwa praktik tersebut mendorong kita lebih dekat pada periode dimana infeksi biasa dapat menjadi hukuman mati karena mereka tidak lagi merespon obat.

Konsumsi daging, susu dan telur tumbuh cepat di banyak negara berkembang dan berpendapatan menengah. Urbanisasi, peningkatan kekayaan dan perubahan pola makan berarti bahwa produsen ternak industrial berkembang pesat.

Mereka bergantung pada antibiotik untuk menjauhkan hewan dari penyakit dalam jangka pendek, menurut salah satu penulis laporan Tim Robinson, seorang ilmuwan dari Institut Riset Hewan Ternak Internasional (ILRI).

Namun penggunaan sistematik dari antibiotik dosis rendah pada hewan ternak menciptakan “kondisi sempurna untuk menumbuhkan bakteri resisten,” ujarnya pada Thomson Reuters Foundation.

Bakter-bakteri seperti E. coli dan salmonella sudah menjadi resisten atau kebal terhadap antiobiotik, menurut Robinson, meningkatkan kekhawatiran bahwa penyakit-penyakit ini akan membahayakan manusia.

Ditularkan dari hewan ke manusia lewat kontaminasi makanan, kontak langsung atau lingkungan yang lebih luas, bakteri yang resisten terhadap antibiotik membuat dokter lebih sulit mengobati infeksi biasa atau penyakit lainnya, ujarnya.

Studi oleh para ahli dari Princeton, ILRI dan Institut Kesehatan Nasional itu merupakan yang pertama yang mengukur konsumsi antibiotik global oleh hewan ternak.

Asia merupakan wilayah utama yang mendapatkan kekhawatiran karena permintaan akan produk ternak meningkat secara dramatis sementara regulasi yang mengatur penggunaan antibiotik pada hewan tidak ada atau tidak tersedia secara umum, menurut para ilmuwan.

Industri hewan ternak China sendiri dapat segera mengkonsumsi hampir sepertiga antibiotik dunia.

Lima negara dengan proyeksi peningkatan konsumsi antibiotik terbesar adalah Myanmar (205 persen), Nigeria (163 persen), Peru (160 persen) dan Vietnam (157 persen).

Meningkatkan produksi pangan untuk sekitar 805 juta orang yang tidur dengan perut lapar setiap malam memerlukan pendekatan baru yang tidak terlalu bergantung pada pengembangbiakan intensif yang memerlukan antibiotik, ujar Robinson.

“Peternak miskin tidak bertanggung jawab atas masalah ini, tetapi perusahaan-perusahaan besarlah yang bergegas memenuhi permintaan di kota-kota berkembang,” tambahnya.

Namun warga miskinlah yang akan terimbas paling parah jika bakteri resisten menular ke manusia lebih sering, ujarnya, karena mereka tidak mampu membayar dosis obat yang lebih besar dan lebih sering yang diperlukan untuk melawan infeksi.