Untuk pertama kalinya kota Los Angeles di negara bagian California mengadakan Los Angeles Indonesian Film Festival. Festival film Indonesia yang merupakan kerja sama antara Dapoer Kita Productions dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (PERMIAS) Los Angeles ini diselenggarakan pada tanggal 3 dan 4 September lalu, dengan rangkaian acara yang meliputi pemutaran film-film Indonesia, beberapa di antaranya Sang Penari, Lovely Man, 9 Summers 10 Autumns, Soegija, dan Sokola Rimba.
“Sebetulnya kalau kita bicara festival film Indonesia di Amerika itu kan sudah ada dua yang mengadakan, San Francisco dan (Washington) D.C. Kita melihatnya kapan L.A. punya festival film Indonesia sendiri. Kalau kita bicara mengenai international film festival di L.A. itu sudah banyak sekali. Bahkan Vietnam atau Brazil yang notabene negaranya jauh lebih kecil daripada kita punya film festival sendiri dan acaranya selalu sukses,” papar Endah Redjeki, pendiri Dapoer Kita Productions selaku panitia inti dari Los Angeles Indonesian Film Festival kepada VOA baru-baru ini.
Berbekal waktu tiga bulan, Endah dan beberapa warga Indonesia, salah satunya sineas muda Indonesia, Roland Wiryawan, akhirnya memberanikan diri untuk mengadakan Los Angeles Indonesian Film Festival, dengan dukungan yang kuat dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu.
“Sebetulnya ada sedikit tantangan yang diberikan oleh ibu Mari Elka Pangestu. Beliau bilang, ‘harus dibikin ya, dan harus dibikin bulan September.’ Ini tantangan menarik. Jadi dalam waktu tiga bulan, kita semua mencoba bagaimana caranya supaya kita bisa jadi bikin ini dalam waktu tiga bulan, dengan dana yang terbatas, dengan keterbatasan kitanya juga, karena kita yang bekerja juga nggak banyak, tapi Alhamdulillah kita bisa jalan,” cerita Endah.
Selain waktu, dana juga menjadi tantangan bagi para panitia.
“Kalau dari kita sebagai pihak penyelenggara (tantangannya) nggak jauh-jauh dari dana,” canda Endah. “Susah banget kayaknya cari dana atau sponsor yang membiayai suatu event terutama event yang baru pertama kali kita kerjakan,” lanjutnya.
Ajang festival film Indonesia ini dihadiri oleh sekitar 750 warga Indonesia dan juga Amerika, dan dimeriahkan oleh artis-artis dan sineas yang khusus datang dari Indonesia, antara lain Wulan Guritno, Prisia Nasution, Lukman Sardi, Edwin Nazir, yang adalah produser eksekutif untuk film 9 Summers 10 Autumns, dan sineas kawakan, Tino Saroengallo. Nampak hadir juga di acara ini Kasubdit Festival dan Eksibisi Film dari Direktorat Pengembangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Molly Prabawati.
"Mudah-mudahan (festival film ini) diadakan setiap tahun ya, karena pasti dari setiap tahun itu akan menjadi sesuatu yang lebih besar lagi, sampai suatu hari menjadi sesuatu yang bermanfaat buat kedua belah pihak (Indonesia dan Amerika)," ujar Wulan Guritno.
Sineas kawakan, Tino Saroengallo berpendapat bahwa festival film Indonesia yang pertama di Los Angeles ini telah berjalan dengan baik sekali. "Keseluruhan sih bagus untuk memperkenalkan film Indonesia ke (Amerika), dengan catatan tentunya film-film yang bermutu. Mungkin di kemudian hari bisa menggalang kerjasama antara dua kubu kreatif Indonesia dan Los Angeles atau Hollywood atau lebih meyakinkan pihak industri di Hollywood bahwa kita juga punya industri dengan sistem yang baku secara internasional di Indonesia, sehingga mereka tidak segan-segan datang syuting ke Indonesia," ujar pria yang pernah terlibat dalam penggarapan film Eat, Pray, Love dan the Philosphers ini.
Acara pemutaran film mengambil lokasi di Regent Theatre di Westwood Village, Los Angeles. Di akhir pemutaran film, diadakan juga acara tanya jawab dengan penonton. Aktris Prisia Nasution banyak berbagi cerita mengenai pengalamannya syuting film Sokola Rimba.
"Kalau Sokola Rimba, pertanyaan tentang filmnya: bagaimana saya bisa berakting dengan anak-anak (rimba) tersebut? Mereka memang anak hutan. Dan saya harus berbicara dengan bahasa rimba. Bagaimana cara belajar awalnya? Apa yang saya pelajari di hutan?," cerita Prisia.
Selain acara pemutaran film-film Indonesia, diadakan juga forum diskusi yang mengundang para sineas Amerika, seperti produser eksekutif film Eat, Pray, Love, Stan Wlodkowski, sutradara film the Philosopher, John Huddles, serta Bob Gordon dan Robert Chappell, dua sutradara yang pernah menggarap iklan-iklan terkenal di Indonesia.
“Empat orang ini sudah pernah membuat film di Indonesia,” ujar Endah. “Membicarakan mengenai perkembangan industri perfilman dan regulasi, kalau ada orang membuat film di Indonesia. Dari sineasnya sendiri, mereka sharing pengalaman-pengalaman mereka syuting film di Indonesia. Seperti contohnya, Stan Wlodkowski, dia bercerita mengenai pengalamannya membuat film Eat, Pray, Love di Bali selama tiga bulan. Dia berbagi pengalaman bagaimana dia bekerja sama dengan talenta-talenta Indonesia,” lanjutnya.
Endah berharap dari forum diskusi ini bisa terjalin kerjasama yang saling menguntungkan di antara para sineas Indonesia dan Amerika.
“Kita berharap bahwa akan terjadi satu hubungan bisnis baru atau beberapa hubungan bisnis baru antara perfilman Indonesia dengan perfilman Amerika. Seperti contohnya, akan lebih banyak lagi studio-studio besar di Amerika yang membuat film di Indonesia. Kemudian hubungan kerjasama dengan talenta-talenta Indonesia yang ada di Indonesia, karena selama ini dari pengalaman atau berdasarkan informasi, mereka (sineas Amerika) masih membawa kru-krunya sendiri dari Amerika. Sementara kita semua tahu bahwa Indonesia nggak kalah, bahkan Indonesia itu kru dan talentanya jauh bisa lebih baik daripada yang ada di Amerika itu sendiri,” kata Endah.
Salah satu keunikan dari forum diskusi di ajang Los Angeles Indonesian Film Festival ini adalah bahwa panitia turut mengundang para mahasiswa jurusan film di daerah Los Angeles dan sekitarnya agar bisa berdiskusi dan bertukar pikiran secara langsung dengan para sineas Indonesia, dengan harapan informasi yang diperoleh bisa berguna sekembalinya nanti mereka ke Indonesia.
Your browser doesn’t support HTML5
"Yang belum dipahami adalah medannya, situasi, kondisi, sejarah perfilman karena itu yang berbeda antara Indonesia dan Amerika. Bioskop kita seperti apa, rules and regulation dari bioskop bagaimana, dari pemerintah bagaimana, situasi perfilman kita seperti apa, pangsa pasar sukanya yang kayak gimana, terus kalau film Indonesia ingin ke festival pengalaman teman-teman yang sudah mengalami itu bagaimana," papar Wulan Guritno.
Walaupun baru saja selesai, Endah dan teman-teman saat ini sudah sibuk merencanakan kembali Los Angeles Indonesian Film Festival selanjutnya dengan konsep yang berbeda, dengan harapan dapat menarik perhatian lebih banyak orang lagi.