Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengatakan 'Reuni 212' yang diselenggarakan pada 2 Desember 2018 lalu penuh dengan muatan politis. Ia menyebut beberapa unsur yang memperkuat pernyataannya itu, seperti kehadiran capres nomor urut dua Prabowo Subianto dan elit-elit politik partai oposisi pemerintah, nyanyian dan bendera “2019 ganti Presiden,” hingga “amanat perjuangan” yang disampaikan Rizieq Shihab dalam rekaman audio yang disebut direkam di Mekkah, kota dimana pemimpin Front Pembela Islam itu kini berada.
Boni Hargens menyayangkan sikap sebagian elit politik yang memanfaatkan momen ini untuk menggalang dukungan.
“Biarkan itu jadi ruang agama, ruang moral kenapa harus dipolitisasi? Itulah yang kita sesalkan tetapi sekali lagi kita respect dan hargai seluruh umat yang hadir dengan tenang dan dengan niat baik, tapi kita mengutuk para politisi para pemburu rente yang menelikung niat baik itu menjadi kepentingan politik,” kata Boni.
BACA JUGA: Reuni 212 Bukan Kampanye?Hal tersebut disampaikannya dalam acara diskusi “Reuni 212 Curi Start Kampanye, Bawaslu Harus Bangun Tidur” di Jakarta, hari Rabu (5/12).
LPI: Sikap Bawaslu akan Turunkan Kepercayaan Publik
Boni juga menyayangkan sikap Bawaslu yang langsung menyatakan bahwa sama sekali tidak ada pelanggaran dalam reuni 212 itu berdasarkan pengamatan lewat televisi dan berita-berita online. Sikap ini ujar Boni akan menurunkan kepercayaan publik yang seharusnya menjaga netralitas jalannya pemilu serta menujukkan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon.
“Justru itu yang memalukan bagaimana mungkin seorang komisioner Bawaslu membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan sekunder dari media. Ini memalukan institusi. Menelanjangi keberpihakan politik. Yang bersangkutan kalau gak salah adalah istri pengurus HTI. Ini kan akhirnya orang menarik garis yang jelas, jangan-jangan Bawaslu sudah masuk angin atau punya parsialitas dalam politik yang kami sesalkan sehingga kami mendorong ini masih ada waktu Bawaslu silahkan evaluasi dan cari bukti atau kalau ada masyarakat yang mau mengadu di respon secara serius bahwa memang ada pelanggaran di sana," tambah Boni.
Komisioner Bawaslu Bantah Langgar Kode Etik
Jaringan Advokat Penjaga NKRI hari Rabu (5/12) melaporkan Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo yang dinilai “terburu-buru dan melanggar kode etik” pasca memberikan pernyataan ke media tentang reuni 212. Dewi sendiri membantah hal itu karena sudah mengamati dengan seksama pidato Prabowo Subianto dalam acara itu, dan menilai capres nomor urut dua itu tidak melanggar aturan.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw mengatakan, sebenarnya tidak ada yang salah dari gerakan politik yang diinisiasi oleh masyarakat untuk mendukung salah satu calon Presiden. Namun berdasarkan aturan pemilu yang ada, hal itu baru bisa dilakukan tiga minggu menjelang pencoblosan. Oleh karena itu reuni 212 dinilainya telah mencuri start kampanye.
“Sebenarnya sebagai sebuah gerakan politik yang di inisiasi oleh masyarakat itu sah-sah saja. Sebagai bagian dari inisiatif masyarakat untuk menyampaikan dukungan kepada salah satu pasangan calon apalagi ini sedang pemilu saya kira sah-sah saja. Cuma kan dalam konteks pemilu ada aturannya," kata Jerry.
Jerry menambahkan, "Kampanye dalam bentuk rapat umum itu baru dialokasikan waktunya tiga minggu sebelum hari H. Jadi untuk masa kampanye sekarang ini belum ada, belum bisa untuk melakukan mobilisasi dukungan lewat kampanye dalam bentuk rapat umum. Jadi saya kira ini jelas sebuah kegiatan yang digagas untuk membangun opini dan menyatakan dukungan secara langsung kepada salah satu pasangan calon dan repotnya itu dilakukan di masa kampanye yang belum waktunya.”
Supaya tidak terus menggerus demokrasi, Jerry mendorong kedua pasangan calon presiden untuk “perang gagasan dan visi misi.”
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat: Indonesia Sedang Alami Defisit Demokrasi
Sementara pengamat politik Karyono Wibowo menilai Indonesia kini sedang mengalami “defisit demokrasi.” Ini ditandai dengan menguatnya politik identitas, diawali dengan pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu dan berlanjut hingga pemilu presiden saat ini. Kentalnya isu SARA dikhawatirkan akan semakin menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat.
“Menguatnya politik identitas yang menggunakan sara dan agama, suku, atau sentimen lain itu memiliki dampak yang sangat signifikan. Kalau politik identitas terus dikembangkan, ini bisa menimbulkan disharmoni atau keretakan di masyarakat. Praktek politik identitas yang terjadi pada 2017 efeknya terasa sampai sekarang,” tukas Karyono.
Karyono mengatakan bahwa negara tidak bisa sendirian dalam mengatasi dan menghadapi permasalahan tersebut. Perlu kerjasama dari berbagai pihak terutama masyarakat, untuk senantiasa berdemokrasi dengan cara yang adil, agar Indonesia sebagai negara dengan dasar Pancasila tidak dicederai dengan berbagai pemainan politik yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih kemenangan. [gi/em]