Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan 57,6 persen dari 24 persen warga yang tahu jika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Joko Widodo mengatakan keputusan MK mengenai batasan usia calon presiden/calon wakil presiden sebagai keputusan yang tidak adil.
"Dengan kata lain kalau misalnya yang tahu Ketua MK adalah adik ipar Presiden makin banyak, maka penilaian bahwa keputusan MK sangat tidak adil karena menguntungkan keluarga Presiden, akan lebih banyak lagi," jelas Djayadi Hanan secara daring, Minggu (22/10/2023).
Survei tersebut juga mendapati bahwa sekitar 37,2 persen warga tahu atau pernah mendengar keputusan MK terkait batasan usia calon presiden atau calon wakil presiden.
Survei LSI itu melibatkan 1.229 responden pada 16-18 Oktober 2023 dengan tingkat kesalahan kurang lebih 2,9 persen. Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa elektabilitas Prabowo Subianto naik tipis sekitar 3,4 persen atau menjadi 35,9 persen jika berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka. Persentase ini mengungguli Ganjar Pranowo-Mahfud MD (26,1 persen) dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (19,6 persen). Namun semakin banyak yang tahu jika Ketua MK adalah adik ipar Jokowi, maka dukungan terhadap Prabowo diperkirakan akan menyusut.
"Makin banyak orang tahu Ketua MK Anwar Usman adalah adik ipar presiden, maka potensi suara menurunkan suara Prabowo lebih besar," tambahnya.
BACA JUGA: Putusan MK Bayangi Integritas Pemilu 2024Di samping itu, hasil survei juga menunjukkan tingkat kepercayaan pada lembaga negara lebih rendah di kelompok yang tahu tentang keputusan MK. Setidaknya terjadi di tubuh Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR, dan MK. Adapun yang tidak terdampak, yaitu TNI, Kejaksaan Agung, Pengadilan, dan Partai Politik.
"Mungkin untungnya masyarakat yang mengikuti putusan MK 37 persen, kalau dia meningkat bisa jadi kepercayaan ke lembaga-lembaga politik mungkin potensial akan mengalami penurunan."
Pengamat politik dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UII) Philips J. Vermonte menyoroti potensi penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Sebab, ia meyakini semakin banyak warga yang tahu tentang putusan MK ini akan semakin banyak yang tidak percaya terhadap lembaga negara dan institusi demokrasi. Karena itu, ia menilai hal ini akan menjadi kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.
"Kita ini seperti mendorong batu ke atas bukit lalu menggelinding ke bawah dan kita dorong ke atas dan menggelinding lagi ke bawah," ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Vermonte mengatakan kemunduran demokrasi yang telah disepakati pada awal reformasi terlihat dalam pembahasan undang-undang lainnya. Sebagai contoh Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang membolehkan TNI-Polri untuk menduduki jabatan sipil.
Selain itu, ia khawatir penggunaan institusi hukum seperti MK akan digunakan oleh pemenang pemilu mendatang untuk kepentingan pribadi atau golongan. [sm/ah]