Spesialis kesehatan di India menggunakan teknologi sidik jari untuk menjamin pasien tuberkulosis (TB) menerima perawatan yang semestinya.
NEW DELHI, INDIA —
Warga New Delhi Vishnu Maya menyadari ada perubahan dalam kondisi kesehatannya setelah mendapat perawatan selama beberapa minggu untuk penyakit tuberkulosis (TB) yang dideritanya.
"Saya merasa lebih baik. Saya merasa lebih sehat dalam dua, tiga terakhir ini," ujarnya. "Saya tidak merasa sakit saat ini."
Maya memakan obatnya di pusat kesehatan masyarakat, didampingi oleh Neema Mehta, seorang konselor dari lembaga swadaya masyarakat Operation Asha.
Mehta mengalami kesulitan menjamin semua pasien tidak menghentikan pengobatan mereka untuk alasan apa pun.
"Kami harus menjelaskan pada mereka, karena mereka melihatnya sebagai dosis enam bulan, dan mereka khawatir jika harus mengkonsumsi obat selama itu," ujarnya.
"Kami harus menjelaskan bahwa tidak ada yang harus dikhawatirkan. Jika obat dimakan pada waktunya, maka Anda akan sembuh."
Tuberkulosis masih merupakan krisis kesehatan besar di India, dengan dua juta orang didiagnosa terjangkit penyakit ini setiap tahun.
Memastikan pasien menyelesaikan pengobatannya sangat krusial. Jika pengobatan terhenti, infeksi paru-paru akan berubah menjadi jenis yang lebih mematikan yaitu tuberkulosis yang resisten terhadap multi-obat (MDR-TB), yang tentunya jauh lebih sulit untuk diobati dan memerlukan biaya yang lebih tinggi.
India diperkirakan memiliki 10.000 kasus semacam itu. Namun pendiri Operation Asha Dr. Shelly Batra khawatir angka yang sebenarnya lebih tinggi, dengan ribuan orang tidak terdiagnosa.
"MDR-TB adalah wabah berikutnya yang memiliki potensi untuk menewaskan jutaan orang," ujar Batra.
"Dan jika kita tidak menerimanya sekarang dan tidak bertindak sekarang dengan mencegah resistensi obat, kita akan mengalami masalah besar."
Batra menggunakan teknologi biometrik untuk memastikan pasien-pasien TB menuntaskan pengobatan mereka.
Lembaganya memiliki pos-pos di hampir semua pojok kota, tempat sidik jari pasien dan konselor direkam sebagai bukti interaksi. Mereka yang tidak muncul untuk mengambil obat mereka akan dikirim surat dan dicari.
Sistem pengawasan seperti ini telah membuat perubahan dan mengurangi tingkat kegagalan sampai setengahnya, menurut Batra.
"Tingkat kegagalan turun 3 persen, dan teknologi biometrik menurunkannya menjadi di bawah 1,5 persen, yang saya yakin merupakan penghematan besar," ujar Batra.
"MDR-TB tidak hanya menyebabkan penderitaan bagi pasien, tapi juga kerugian finansial untuk negara."
Dengan pusat-pusat pengobatan di 3.000 daerah kumuh dan desa di India dan Kamboja, Operation Asha berharap upaya di akar rumput yang dilakukannya, dibantu dengan teknologi, akan membantu mengurangi tuberkulosis yang resisten terhadap multi-obat.
"Saya merasa lebih baik. Saya merasa lebih sehat dalam dua, tiga terakhir ini," ujarnya. "Saya tidak merasa sakit saat ini."
Maya memakan obatnya di pusat kesehatan masyarakat, didampingi oleh Neema Mehta, seorang konselor dari lembaga swadaya masyarakat Operation Asha.
Mehta mengalami kesulitan menjamin semua pasien tidak menghentikan pengobatan mereka untuk alasan apa pun.
"Kami harus menjelaskan pada mereka, karena mereka melihatnya sebagai dosis enam bulan, dan mereka khawatir jika harus mengkonsumsi obat selama itu," ujarnya.
"Kami harus menjelaskan bahwa tidak ada yang harus dikhawatirkan. Jika obat dimakan pada waktunya, maka Anda akan sembuh."
Tuberkulosis masih merupakan krisis kesehatan besar di India, dengan dua juta orang didiagnosa terjangkit penyakit ini setiap tahun.
Memastikan pasien menyelesaikan pengobatannya sangat krusial. Jika pengobatan terhenti, infeksi paru-paru akan berubah menjadi jenis yang lebih mematikan yaitu tuberkulosis yang resisten terhadap multi-obat (MDR-TB), yang tentunya jauh lebih sulit untuk diobati dan memerlukan biaya yang lebih tinggi.
India diperkirakan memiliki 10.000 kasus semacam itu. Namun pendiri Operation Asha Dr. Shelly Batra khawatir angka yang sebenarnya lebih tinggi, dengan ribuan orang tidak terdiagnosa.
"MDR-TB adalah wabah berikutnya yang memiliki potensi untuk menewaskan jutaan orang," ujar Batra.
"Dan jika kita tidak menerimanya sekarang dan tidak bertindak sekarang dengan mencegah resistensi obat, kita akan mengalami masalah besar."
Batra menggunakan teknologi biometrik untuk memastikan pasien-pasien TB menuntaskan pengobatan mereka.
Lembaganya memiliki pos-pos di hampir semua pojok kota, tempat sidik jari pasien dan konselor direkam sebagai bukti interaksi. Mereka yang tidak muncul untuk mengambil obat mereka akan dikirim surat dan dicari.
Sistem pengawasan seperti ini telah membuat perubahan dan mengurangi tingkat kegagalan sampai setengahnya, menurut Batra.
"Tingkat kegagalan turun 3 persen, dan teknologi biometrik menurunkannya menjadi di bawah 1,5 persen, yang saya yakin merupakan penghematan besar," ujar Batra.
"MDR-TB tidak hanya menyebabkan penderitaan bagi pasien, tapi juga kerugian finansial untuk negara."
Dengan pusat-pusat pengobatan di 3.000 daerah kumuh dan desa di India dan Kamboja, Operation Asha berharap upaya di akar rumput yang dilakukannya, dibantu dengan teknologi, akan membantu mengurangi tuberkulosis yang resisten terhadap multi-obat.