LSM Kecam Pembubaran Diskusi Buku Tan Malaka dan Pertemuan Eks Tapol

  • Fathiyah Wardah

Salah satu buku Tan Malaka karya Harry A. Poeze. (VOA/Andylala Waluyo)

Ketakutan dan kebencian yang berlebihan terhadap paham komunisme akan berdampak pada kegagalan upaya-upaya rekonsiliasi nasional yang digagas oleh beberapa pihak.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu hak asasi manusia mengecam tindakan polisi dan militer yang membubarkan acara bedah buku Tan Malaka dan pertemuan mantan tahanan politik baru-baru ini.

Kedua kegiatan itu adalah acara bedah buku karya Harry A.Poeze dengan judul diskusi "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid 4" di Surabaya, Jawa Timur dan juga acara pertemuan sejumlah ex tahanan politik di Srondol Kulon, Bayumanik, yang berujung pada penangkapan 10 orang.

Kedua kegiatan tersebut dibubarkan atas desakan kelompok intoleran, dengan alasan karena kegiatan-kegiatan tersebut disinyalir berkolerasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peneliti Setara Institute Indra Listiantara Putra, Senin (17/2), mengatakan pembubaran dan penangkapan itu bertentangan dengan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi dan pendidikan, termasuk melalui kegiatan akademis seperti bedah buku. Selain itu, pelanggaran dan perampasan hak berkumpul dan berserikat juga memperoleh jaminan konstitusi.

Dia menilai tindakan pembubaran dan pelarangan diskusi Tan Malaka sangat tidak relevan karena yang bersangkutan adalah tokoh bangsa dan pahlawan nasional. Menurutnya, konteks perjuangan Tan Malaka dalam kemerdekaan itu yang seharusnya dilihat dan bukan hanya dilihat sebagai pemimpin Partai komunis Indonesia.

Sementara itu, pertemuan yang dilakukan mantan tahanan politik (tapol) itu merupakan pertemuan biasa dan kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia atau sudah tua.

Putra menilai ketakutan dan kebencian yang berlebihan terhadap paham komunisme akan berdampak pada kegagalan upaya-upaya rekonsiliasi nasional yang digagas oleh beberapa pihak.

"Yang harus dilakukan pemerintah menghormati dan memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak warga negara untuk berdiskusi, berkumpul. Nah soal ketakutan berlebihan yang sudah ada, pencegahan soal ini. Yang terpenting menurut saya aparat keamanan menempatkan dirinya dalam porsi sebenarnya jangan akhirnya terlibat atau ikut dalam upaya-upaya pembubaran-pembubaran seperti yang terjadi di dua tempat ini," ujarnya.

Aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar mengatakan, kepolisian sebagai alat keamanan negara mestinya memberikan jaminan perlindungan kepada semua warga negara dan bukan malah membubarkan atau menangkap mereka yang sedang berdiskusi atau berkumpul.

Tindakan tersebut, menurut Wahyudi, akan menjadi cacatan buruk untuk Indonesia di mata Internasional karena negara belum mampu untuk melindungi pelaksanaan kebebasan berserikat itu.

Dia menyatakan tindakan tersebut membawa masyarakat Indonesia mundur dalam perjalanan bangsa yang saat ini sudah masuk dalam era demokrasi.

"Tidak beralasan kemudian ada fobia yang begitu mendalam terhadap apa yang mereka katakana bahaya laten komunis. Nggak mungkinlah orang-orang yang sudah sejompo itu kemudian dikatakan itu bahaya laten komunis. Bahaya laten bagaimana, orang mereka hidupnya juga sudah susah," ujarnya.

Sementara itu, kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Ronny Frenky Sompie mengatakan acara itu dibatalkan karena alasan keamanan. Polisi khawatir ada pembubaran paksa oleh kelompok tertentu.

"Masyarakat tetap kondusif. Polisi menjamin untuk keamanan masyarakat," ujarnya.