Setara Institute menyatakan penutupan tempat ibadah di Aceh memperlihatkan bahwa pemerintah daerah lebih tunduk pada kelompok garis keras.
Pemerintah Kota Banda Aceh telah menghentikan kegiatan keagamaan di sembilan gereja dan enam vihara sejak 18 Oktober lalu, karena semua tempat ibadah tersebut dinilai tidak memiliki ijin yang sah. Tempat-tempat ibadah ini mengambil tempat di rumah toko (ruko).
Pendeta Samuel Lukito dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pusat kepada VOA mengatakan saat ini jemaahnya beribadah di sejumlah tempat berbeda seperti pantai dan aula milik Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ia mengatakan telah meminta pemerintah daerah memberikan tempat untuk mereka beribadah. Pendeta Samuel menjelaskan bahwa sekretaris pemerintah daerah yang mereka temui mengakui bahwa pemerintah daerah mendapatkan tekanan dari sejumlah organisasi keagamaan, diantaranya Front Pembela Islam (FPI).
“Kalau tidak ditutup maka akan dikerahkan ribuan massa untuk melakukan aksinya. Dan itu mungkin yang membuat pemerintah kota agak khawatir,” ujar Samuel.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengungkapkan tindakan penutupan tempat ibadah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah lebih tunduk pada kelompok garis keras.
Hal tersebut menyebabkan kejadian seperti ini terus terjadi di Aceh, kata Bonar. Sebelumnya, 16 gereja di Singkil, Aceh, juga mengalami nasib yang sama.
Menurut Bonar, hal ini tidak dapat dibiarkan karena penutupan tempat ibadah merupakan bentuk pengabaian hak-hak warga negara, padahal setiap orang bebas menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.
“Jika memang tempat-tempat ibadah tersebut tidak memiliki ijin yang sah, seharusnya pemerintah daerah Aceh mempercepat pemberian ijin dan bukan malah menutup tempat ibadah,” ujar Bonar.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah yang dikeluarkan pada 2006, pemerintah daerah wajib memfasilitasi warga jika mereka kesulitan mendirikan tempat ibadah.
Data Setara Institute menunjukkan pada 2010 terdapat sekitar 45 gereja di Indonesia ditutup karena masalah perijinan. Jumlah tersebut bertambah pada 2011 menjadi 65 gereja.
Bonar mengatakan harus ada kebijakan tegas dari pemerintah pusat terkait
persoalan kebebasan beragama.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonizar Moenek membantah adanya pelarangan ibadah di Banda Aceh.
Yang terjadi, kata Reydonizar, pemerintah kota Banda Aceh meminta agar para pengurus gereja dan vihara tersebut mengurus ijin mendirikan rumah ibadah sesuai aturan yang ada. Dan itu, tambahnya, adalah hak pemerintah daerah.
Sesuai aturan, Reydonizar mengatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus memiliki persetujuan setidaknya 60 sampai 90 orang yang tinggal di lingkungan setempat.
“Bahwa kalaupun akan melaksanakan kegiatan beribadah, silahkan tidak ada larangan untuk melaksanakan ibadah, tetapi pada tempat atau rumah yang sudah dipersiapkan peruntukannya untuk betul-beul melaksanakan ibadah, dan itu harus ada persetujuan lingkungan. Jadi ini lebih soal penataan semata,” ujarnya.
Pendeta Samuel menyatakan aturan seperti itu sebenarnya sangat bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 karena setiap orang bebas menjalankan agamanya. Aturan ini juga yang membuat banyak gereja ditutup di Indonesia.
Ia mengatakan sangat sulit mendapatkan ijin dari masyarakat setempat, terutama di Aceh.
Pendeta Samuel Lukito dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pusat kepada VOA mengatakan saat ini jemaahnya beribadah di sejumlah tempat berbeda seperti pantai dan aula milik Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ia mengatakan telah meminta pemerintah daerah memberikan tempat untuk mereka beribadah. Pendeta Samuel menjelaskan bahwa sekretaris pemerintah daerah yang mereka temui mengakui bahwa pemerintah daerah mendapatkan tekanan dari sejumlah organisasi keagamaan, diantaranya Front Pembela Islam (FPI).
“Kalau tidak ditutup maka akan dikerahkan ribuan massa untuk melakukan aksinya. Dan itu mungkin yang membuat pemerintah kota agak khawatir,” ujar Samuel.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengungkapkan tindakan penutupan tempat ibadah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah lebih tunduk pada kelompok garis keras.
Hal tersebut menyebabkan kejadian seperti ini terus terjadi di Aceh, kata Bonar. Sebelumnya, 16 gereja di Singkil, Aceh, juga mengalami nasib yang sama.
Menurut Bonar, hal ini tidak dapat dibiarkan karena penutupan tempat ibadah merupakan bentuk pengabaian hak-hak warga negara, padahal setiap orang bebas menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.
“Jika memang tempat-tempat ibadah tersebut tidak memiliki ijin yang sah, seharusnya pemerintah daerah Aceh mempercepat pemberian ijin dan bukan malah menutup tempat ibadah,” ujar Bonar.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah yang dikeluarkan pada 2006, pemerintah daerah wajib memfasilitasi warga jika mereka kesulitan mendirikan tempat ibadah.
Data Setara Institute menunjukkan pada 2010 terdapat sekitar 45 gereja di Indonesia ditutup karena masalah perijinan. Jumlah tersebut bertambah pada 2011 menjadi 65 gereja.
Bonar mengatakan harus ada kebijakan tegas dari pemerintah pusat terkait
persoalan kebebasan beragama.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonizar Moenek membantah adanya pelarangan ibadah di Banda Aceh.
Yang terjadi, kata Reydonizar, pemerintah kota Banda Aceh meminta agar para pengurus gereja dan vihara tersebut mengurus ijin mendirikan rumah ibadah sesuai aturan yang ada. Dan itu, tambahnya, adalah hak pemerintah daerah.
Sesuai aturan, Reydonizar mengatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus memiliki persetujuan setidaknya 60 sampai 90 orang yang tinggal di lingkungan setempat.
“Bahwa kalaupun akan melaksanakan kegiatan beribadah, silahkan tidak ada larangan untuk melaksanakan ibadah, tetapi pada tempat atau rumah yang sudah dipersiapkan peruntukannya untuk betul-beul melaksanakan ibadah, dan itu harus ada persetujuan lingkungan. Jadi ini lebih soal penataan semata,” ujarnya.
Pendeta Samuel menyatakan aturan seperti itu sebenarnya sangat bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 karena setiap orang bebas menjalankan agamanya. Aturan ini juga yang membuat banyak gereja ditutup di Indonesia.
Ia mengatakan sangat sulit mendapatkan ijin dari masyarakat setempat, terutama di Aceh.