Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan optimis pasar Indonesia akan lebih meluas dengan bergabung menjadi anggota BRICS.
“Apa keuntungan kita dengan (bergabung) ke BRICS? Ya market kita lebih besar,” ungkap Luhut dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (9/1).
Dalam kesempatan itu, Luhut juga menekankan bahwa Indonesia tidak takut dengan adanya risiko retaliasi dari pihak Barat, dalam hal ini Amerika Serikat, pasca menjadi anggota BRICS. Menurutnya, Indonesia merupakan negara besar dan berdaulat.
“Indonesia is too big to lean to any country; Indonesia terlalu besar untuk condong pada satu negara, ya maksud saya waktu itu China dan Amerika. Kita tidak perlu (takut dengan retaliasi), apalagi sekarang ini Presidennya Pak Prabowo, ndak perlu. Jadi kita perlu merdeka, perlu independen, ya sedikit nakal-nakal lah,” jelasnya.
Luhut menilai dengan bergabungnya Indonesia dengan BRICS, pasar Indonesia akan semakin besar, sehingga bisa meminimalisir dampak rambatan dari berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh negara-negara besar saat ini.
“Kalau kita tidak hati-hati dengan persoalan yang ada di China sekarang, dan juga persoalan di Eropa di mana gas dari Rusia disetop, itu akan terjadi masalah krisis energi di Eropa dan dia turunkan ke China, dan China masalah ekonominya sekarang lagi kurang baik, dan Amerika uncertainty-nya tinggi karena tarif (impor) yang belum jelas mau berapa persen dinaikkan oleh Presiden Trump. Jadi kombinasi masalah ini. memang (harus) betul-betul dicermati dengan baik,” tegasnya.
Sementara itu, Ekonom CELIOS Galau D Muhammad mengatakan bergabungnya Indonesia ke BRICS mencerminkan semangat optimisme yang ingin disampaikan oleh pemerintah bahwa Indonesia merupakan negara yang besar dan ingin menjangkau, bernegosiasi dan berinteraksi aktif di berbagai forum.
BACA JUGA: Resmi Jadi Anggota BRICS, Menlu Sugiono: Indonesia Dipandang Sebagai Negara Penting“Manfaatnya kita mungkin bisa terlibat aktif, berkolaborasi misalkan dengan negara-negara di Timur Tengah terkait dengan transisi energi, kemudian kolaborasi dengan Brazil misalkan dalam ranah ekonomi restoratif, kemudian di agenda-agenda perubahan transisi energi di Afrika Selatan,” ungkap Galau ketika berbincang dengan VOA.
Meski begitu, ujar Galau, ada berbagai konsekuensi yang harus menjadi perhatian pemerintah ketika Indonesia mengambil posisi yang berlawanan dengan negara-negara anggota G7 yang menurutnya bisa saja menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian domestik.
Ia mencontohkan, dengan Amerika yang kelak akan dipimpin oleh Donald Trump yang berencana akan memberikan disinsentif kepada negara anggota BRICS.
“Dengan keikutsertaan Indonesia di dalamnya tentunya akan ada risiko ketika nanti Amerika Serikat dalam pertarungan dagang dengan China, yang akhirnya mengeluarkan berbagai bentuk disinsentif kepada negara anggota dan itu yang akan berdampak signifikan. Jadi kita harus melihat dan mewaspadai karena per hari ini imbas dari kebijakan Amerika sangat signifikan berdampak pada misalnya volume ekspor terhadap produk-produk kita yang bergantung di pasar Amerika,” jelasnya.
Selain itu, klaim pemerintah yang mengatakan kelak akan ada diversifikasi pasar ketika menjadi anggota BRICS dinilainya belum tentu akan terjadi. Pasalnya, kata Galau, dengan era stagnasi ekonomi global pada hari ini menjadikan kerja sama multilateral tidak akan terlalu berdampak signifikan terhadap perekonomian domestik. Menurutnya, justru yang bisa terlihat dampak nyatanya dengan cepat adalah kerja sama bilateral.
“Jadi bilateral yang mempunyai arah yang progresif terutama dengan mitra-mitra strategis. Itu yang seharusnya justru harus lebih didorong dibandingkan dengan perjanjian atau kerja sama multilateral. Tentu punya advantage value mungkin lebih kohesif, lebih inklusif, cuma permasalahan hari ini adalah dengan adanya sistem kerja sama multilateral justru tidak menjamin adanya kemanfaatan langsung dibandingkan kesepakatan bilateral yang prosesnya lebih sederhana dan singkat,” tuturnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Lebih jauh, Galau berharap dengan menjadi anggota BRICS Indonesia bisa terlibat lebih aktif lagi bekerja sama dengan seluruh anggota dan bukan hanya dengan China yang merupakan salah satu investor terbesar di Tanah Air. Dengan begitu, peran Indonesia di dalam aliansi ekonomi yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab akan lebih maksimal lagi ke depannya.
“Harapannya keterlibatan kita justru lebih bisa banyak bicara sebagai representative negara global south, bukan hanya sebatas pertimbangan semu kerja sama yang itu belum konkret akan kita dapatkan. Akan lebih progresif lagi ketika Indonesia berperan aktif di dalam BRICS mungkin bisa lebih berfokus kepada penekanan grade investment dalam beberapa dekade ke depan. Jadi harapannya visi Indonesia melihat ke sana, jangan sampai sekadar mengklaim bahwa kita ada di satu aliansi besar tanpa bisa men-deliver satu manfaat yang akan turun di industri, dan juga pasar nasional kita,” pungkasnya. [gi/lt]