MA AS Akan Putuskan Apakah UU Negara Bagian yang Batasi Platform Media Sosial Melanggar Konstitusi

ILUSTRASI - Mahkamah Agung AS akan meninjau kembali undang-undang negara bagian yang berupaya mengatur platform media sosial.

Mahkamah Agung (MA) AS, Jumat (29/9) setuju untuk memutuskan apakah undang-undang negara bagian yang berupaya mengatur Facebook, TikTok, X, dan platform media sosial lainnya melanggar Konstitusi.

Para hakim agung akan meninjau undang-undang yang disahkan oleh badan legislatif yang didominasi Partai Republik dan ditandatangani oleh gubernur dari Partai Republik di Florida dan Texas. Meskipun rinciannya berbeda-beda, kedua undang-undang tersebut bertujuan untuk mencegah perusahaan media sosial menyensor pengguna berdasarkan sudut pandang mereka.

Pengumuman MA AS tersebut, tiga hari sebelum dimulainya masa jabatan barunya, muncul ketika para hakim agung terus bergulat dengan bagaimana undang-undang yang dibuat pada awal era digital, atau sebelumnya, dapat diterapkan di dunia online.

Para hakim telah sepakat untuk memutuskan apakah pejabat publik dapat memblokir kritik terhadap komentar di akun media sosial mereka, sebuah isu yang sebelumnya muncul dalam kasus yang melibatkan Presiden Donald Trump. MA menghentikan kasus Trump ketika masa jabatan kepresidenannya berakhir pada Januari 2021.

Secara terpisah, MA juga dapat mempertimbangkan perintah pengadilan yang lebih rendah yang membatasi komunikasi pejabat eksekutif dengan perusahaan media sosial mengenai postingan online yang kontroversial.

BACA JUGA: AS Prihatin Atas Dorongan Kontra-spionase oleh China

Kasus baru ini terjadi setelah dua pengadilan banding mengeluarkan keputusan yang bertentangan, salah satunya menguatkan sebuah undang-undang negara bagian Texas, sementara yang lainnya membatalkan sebuah undang-undang negara bagian Florida. Dengan suara 5-4, para hakim menunda peninjauan terhadap undang-undang Texas sementara proses litigasi berlanjut.

Para pendukung undang-undang tersebut, termasuk pejabat terpilih dari Partai Republik di beberapa negara bagian yang menerapkan kebijakan serupa, telah berusaha untuk menggambarkan perusahaan media sosial sebagai perusahaan yang secara umum berpandangan liberal dan memusuhi ide-ide di luar sudut pandang perusahaan, terutama dari kelompok sayap kanan.

Sektor teknologi memperingatkan bahwa undang-undang tersebut akan mencegah platform menghapus ekstremisme dan ujaran kebencian.

Tanpa memberikan penjelasan apa pun, para hakim menunda pertimbangan kasus tersebut meskipun kedua pihak sepakat bahwa Mahkamah Agung harus turun tangan.

Para hakim agung juga menghadapi masalah media sosial lainnya tahun lalu, termasuk permohonan yang tidak diterima oleh pengadilan untuk melunakkan perlindungan hukum yang dimiliki perusahaan teknologi terkait postingan penggunanya. [lt/uh]