Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas dua polisi yang didakwa melakukan kelalaian yang menyebabkan salah satu bencana stadion paling mematikan dalam sejarah. Mahkamah menjatuhkan hukuman penjara terhadap keduanya hari Kamis (24/8), meski keluarga korban mengkritik putusan tersebut karena dianggap terlalu ringan.
Tragedi berdesak-desakan di Stadion Kanjuruhan Malang pada Oktober 2022 itu menewaskan 135 orang – termasuk 40 anak – setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah kerumunan penonton menyusul kekalahan Arema FC dari Persebaya Surabaya.
Keluarga korban telah menyuarakan keputusasaan mereka dan menangis setelah pengadilan Jawa Timur memvonis bebas dua aparat Kepolisian Malang Maret lalu.
Berkas pengadilan yang diterima AFP menyatakan bahwa kedua polisi itu, Bambang Sidik Achmadi (48 tahun) dan Wahyu Setyo Pranoto (35 tahun), divonis bersalah pada hari Rabu (23/8) karena kelalaian yang menyebabkan kematian dan cedera.
Keputusan itu diambil setelah jaksa mengajukan banding atas vonis bebas sebelumnya. Achmadi dihukum dua tahun penjara, sedangkan Pranoto dua setengah tahun penjara.
BACA JUGA: Riset: Penyalahgunaan Wewenang dan Kekerasan Fisik Dominasi Pelanggaran PolisiTetapi keluarga korban yang tewas di stadion itu menilai keputusan tersebut tidak cukup berat.
“Ini bercanda. Tidak adil. Keputusannya seperti hukuman orang yang mencuri sapi,” kata Cholifatul Nur, yang kehilangan putranya, Jofan (15 tahun), karena terinjak-injak di Kanjuruhan, kepada AFP.
“Keluarga korban marah dan kecewa,” tambahnya.
Jaksa menuduh Pranoto tidak mematuhi aturan FIFA yang melarang penggunaan gas air mata di pertandingan sepak bola, sementara Achmadi dituduh memerintahkan bawahannya untuk menembakkan gas air mata.
“Kami sudah kehilangan rasa hormat karena mereka didakwa karena kelalaian, bukan pembunuhan,” kata Imam Hidayat, pengcara salah satu keluarga yang kehilangan dua anak remaja mereka dalam tragedi tersebut, kepada AFP hari Kamis.
Hukuman maksimum untuk pembunuhan tidak berencana adalah 15 tahun penjara.
Namun kelompok-kelompok HAM menilai putusan MA memberikan keadilan bagi keluarga dan kerabat korban.
“Keputusan Mahkamah Agung memberikan harapan baru bagi keluarga 135 korban dan mereka yang terluka dalam Tragedi Kanjuruhan untuk mendapatkan keadilan,” kata wakil direktur Amensty International Indonesia, Wirya Adiwena, dalam sebuah pernyataan.
Ia mengatakan, keputusan itu harus digunakan sebagai awal dari upaya untuk “mengatasi budaya kekebalan hukum” dalam kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. [rd/jm]