Mahkamah Agung menolak permohonan banding dari masyarakat adat yang berusaha membatalkan izin konsesi kelapa sawit di ribuan hektare hutan hujan yang mereka klaim sebagai tanah nenek moyang, menurut dokumen hukum yang dirilis pada Jumat (1/11).
Pengajuan banding tersebut berpotensi menjadi preseden penting bagi pemerintah yang berkomitmen untuk melindungi industri ekspor senilai $30 miliar tersebut. Selain itu, langkah ini juga diharapkan dapat meningkatkan tata kelola di tengah tuduhan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia terkait masalah kelapa sawit di Tanah Air.
Konsesi yang menjadi pokok sengketa dalam kasus yang diajukan oleh klan Woro dari Suku Awyu itu diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk lahan seluas 36.000 hektare.
"Saya merasa patah hati karena tidak punya jalan hukum lain untuk melindungi tanah dan masyarakat di tanah leluhur saya. Saya hancur karena selama perjuangan ini, tidak ada dukungan dari pemerintah," kata Hendrikus "Franky" Woro, seorang anggota masyarakat.
Dua dari tiga hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa banding tersebut telah melewati batas waktu dan harus ditolak. Sementara itu, seorang hakim lainnya memiliki pendapat berbeda, berargumen bahwa izin yang diberikan kepada IAL melanggar UU Lingkungan, menurut dokumen pengadilan yang dirilis pada Jumat.
Indo Asiana Lestari belum memberikan tanggapan terkait permintaan komentar. Sebelumnya, perusahaan ini menyatakan bahwa mereka telah mengantongi semua izin yang diperlukan secara hukum dan telah mencapai kesepakatan dengan 12 suku di konsesi tersebut.
BACA JUGA: Sawit Bebas Deforestasi: Praktik Anti-Tamak Petani DayakSelain kasus IAL, anggota suku Awyu lainnya juga berusaha mencabut izin yang diberikan kepada PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan kelapa sawit lainnya yang beroperasi di wilayah yang sama. Secara keseluruhan, luas area yang terlibat dalam semua kasus tersebut mencapai hampir 115.000 hektare.
Kelompok nonpemerintah yang mengadvokasi Awyu, termasuk Greenpeace, mengatakan pada Jumat bahwa penolakan Mahkamah Agung dapat menjadi yuriprudensi dan dapat berdampak pada kasus lainnya. [ah/ft]