Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah sejalan dengan pernyataan yang disampaikan sejumlah lembaga terkait kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata di Papua dan Papua Barat. Menurutnya, berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Terorisme, kekerasan yang dilakukan tersebut sudah masuk dalam kategori terorisme. Kata Mahfud, itu seperti yang sudah disampaikan Badan Intelijen Negara (BIN), Ketua MPR, dan pimpinan TNI-Polri.
"Untuk itu pemerintah sudah meminta kepada Polri, TNI, BIN, dan aparat-aparat terkait itu segera melakukan tindakan secara cepat, tegas dan terukur menurut hukum," jelas Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Kamis (29/4/2021).
BACA JUGA: Dicap Sebagai Teroris, TPNPB-OPM akan Ajukan Uji Materi ke Pengadilan InternasionalMahfud menambahkan upaya penegakan hukum terhadap kelompok yang dinilai sebagai teroris akan dilakukan oleh kepolisian bekerjasama dengan aparat terkait. Namun, ia menegaskan penegakan hukum tersebut tidak akan menyasar masyarakat sipil.
Mahfud mengatakan pemerintah juga telah berdialog dengan pemerintah daerah, tokoh adat, dan tokoh agama di Papua dan Papua Barat terkait berbagai isu di Papua termasuk soal keamanan. Kata dia, pemerintah juga telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat. Kebijakan ini menekankan pendekatan kesejahteraan untuk persoalan di Papua.
Your browser doesn’t support HTML5
"Sikap pemerintah dan rakyat Indonesia, termasuk rakyat Papua itu sudah tegas berpedoman pada resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 tahun 1969 tentang Pepera Papua, maka Papua termasuk Papua Barat itu adalah bagian sah dari NKRI," tambah Mahfud.
Pengamat Ragu Penggantian Terminologi Akan Selesaikan Isu di Papua
Ketua Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth mempertanyakan penggantian istilah dari Kelompok Kriminal Bersenjata menjadi teroris akan menyelesaikan persoalan di Papua. Ia beralasan penggantian tersebut tidak menyentuh akar penyebab kekerasan di Papua. Antara lain soal diskriminasi rasial dan ekonomi.
Menurutnya, pemerintah semestinya menggelar dialog yang lebih serius dengan semua kelompok di Papua untuk mencari solusi bersama. Termasuk dengan kelompok yang berbeda ideologi dengan NKRI yang berseberangan dengan pemerintah.
"Artinya kita harus tahu dulu, kita mau menyelesaikan masalah atau apa. Kalau sekedar ganti nama tidak masalah. Tapi pertanyaannya saya balik, apakah mengganti nama akan menyelesaikan masalah," jelas Adriana Elisabeth kepada VOA, Kamis (29/4).
Adriana meminta pemerintah juga memikirkan dampak pendekatan keamanan terhadap warga sipil. Semisal persoalan pengungsian yang terjadi di sejumlah wilayah Papua yang terjadi konflik bersenjata.
Serangkaian Serangan Bersenjata Terjadi Pekan Ini
Minggu (25/4) lalu, Kabinda Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha meninggal karena tertembak saat melakukan kontak tembak dengan Kelompok Bersenjata di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak. Merespons kejadian ini, BIN kemudian menyatakan kelompok bersenjata tersebut sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua.
BACA JUGA: Kabinda Papua Gugur, BIN Labeli Kelompok Separatis Sebagai TerorisPernyataan serupa disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang mendorong pemerintah untuk menurunkan aparat keamanan dengan kekuatan penuh ke Papua untuk menumpas kelompok bersenjata yang dilabeli teroris.
Pernyataan ini disesalkan sejumlah organisasi masyarakat sipil karena akan memperburuk kondisi kemanusiaan di Papua dan dikhawatirkan akan dijadikan legitimasi bagi aparat keamanan di Papua untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak manusiawi. [sm/em]