TikTok, platform media sosial paling populer di Amerika Serikat, telah menjadi bagian dari budaya Amerika. Namun, kepemilikan platform itu di China dan potensi akses negara itu ke semua data pribadi serta kemampuannya untuk membentuk opini publik bagi para penggunanya di Amerika mendorong Kongres untuk melarangnya.
Kongres mengesahkan RUU pelarangan tersebut dan tanpa keberatan, mosi untuk mempertimbangkannya kembali diajukan.
Hal tersebut terjadi meskipun kepala eksekutif TikTok, Shou Zi Chew, mengimbau para pengguna platformnya di Amerika untuk melawan undang-undang tersebut.
Shou Zi Chew, CEO TikTok mengatakan, “Lindungi hak konstitusional Anda. Sampaikan pendapat Anda.”
Jika Mahkamah Agung AS tidak menangguhkan berlakunya undang-undang tersebut, ByteDance, perusahaan China yang memiliki TikTok, akan kehilangan akses ke pasar terbesarnya mulai tanggal 19 Januari mendatang, kata Alan Rozenshtein, guru besar hukum di University of Minnesota.
“Dengan asumsi Mahkamah Agung menegakkan berlakunya hukum tersebut, kecuali pemerintahan Trump dapat menemukan solusi — yang saya ragukan kemampuannya — pilihannya adalah menjual TikTok atau menghadapi larangan di Amerika Serikat,” ujar Rozenshtein.
Baik Presiden Joe Biden maupun Presiden terpilih Donald Trump mendukung larangan tersebut. Namun, Trump mengungkapkan perubahan sikapnya baru-baru ini setelah video kampanyenya selama pemilihan tahun lalu tampil baik di TikTok.
BACA JUGA: Trump Minta MA Tangguhkan Sementara Undang-Undang yang Bisa Larang TikTokDalam kesempatan itu Trump mengatakan, “Mereka menunjukkan kepada saya bagan dan itu adalah sebuah rekor. Sangat indah untuk dilihat. Dan ketika saya melihatnya, saya mengatakan, ‘Mungkin kita harus membiarkan ini (TikTok) untuk sementara waktu.’”
Mahkamah Agung AS akan mendengarkan banding perusahaan media sosial tersebut pada hari Jumat (10/1).
Para hakim agung akan mempertimbangkan argumen keamanan nasional dengan jaminan konstitusional atas kebebasan berbicara bagi anak perusahaan ByteDance di Amerika dan sekitar 170 juta penggunanya di Amerika Serikat, jelas Profesor Rozenshtein, seraya menambahkan:
“Itulah salah satu dimensi konflik. Namun dalam arti lain, ini juga merupakan pertarungan dalam kebebasan berbicara itu sendiri karena satu hal yang diperdebatkan pemerintah adalah bahwa salah satu bahaya kepemilikan TikTok oleh China adalah karena pemerintah China akan dapat memanipulasi algoritme dan karenanya mendistorsi kebebasan berbicara itu sendiri.”
Investor Kanada Kevin O’Leary mengatakan bahwa ia telah memberi tahu Presiden terpilih Trump bahwa ia hampir mencapai kesepakatan untuk membeli aset TikTok di AS yang akan menyelamatkannya dari larangan.
Kevin O’Leary mengungkapkan, “Saya ingin memberi tahu dia, dan juga orang lain di kabinetnya, bahwa kami sedang melakukan ini (negosiasi) dan kami akan membutuhkan bantuan mereka.”
Trump telah meminta Mahkamah Agung untuk menunda kasus itu sehingga dia dapat menegosiasikan penjualan platform tersebut setelah pelantikannya yang kedua pada tanggal 20 Januari — sehari setelah larangan terhadap TikTok mulai berlaku. [lt/ns]