Mahkamah Agung Filipina untuk sementara menunda pemberlakuan undang-undang terkait kontrasepsi dan kesehatan reproduksi.
MANILA —
Mahkamah Agung Filipina memutuskan penundaan sementara pemberlakuan undang-undang yang menyediakan anggaran negara untuk alat kontrasepsi, sebuah peraturan yang ditentang oleh Gereja Katolik Roma yang berkuasa namun didukung aktivis-aktivis kesehatan reproduksi.
Undang-Undang Orangtua Bertanggung Jawab disetujui oleh para pembuat undang-undang akhir tahun lalu meski ada tentangan gereja. Namun sejumlah pemohon kepada Mahkamah Agung mempertanyakan legalitasnya dalam beberapa hal, dengan mengatakan peraturan tersebut menghina keyakinan agama dan mendorong aborsi, yang masih ilegal di negara tersebut.
Dengan keputusan 15-5 yang berpihak pada 10 permohonan terpisah Selasa (19/3), para hakim agung menghentikan pelaksanaan undang-undang tersebut sampai 18 Juni, ketika kedua pihak memperdebatkan kasusnya di pengadilan, ujar Theodore Te, juru bicara Mahkamah Agung.
Para pemimpin umat Katolik menganggap undang-undang tersebut sebuah serangan terhadap nilai-nilai inti gereja dan mengatakan aturan itu mendorong perzinahan dan menghancurkan kehidupan. Pemerintah mengatakan aturan itu membantu warga miskin mengatur jumlah anak dan memberikan layanan kesehatan ibu.
Hampir setengah dari kehamilan di Filipina tidak diinginkan, menurut badan Perserikatan PBB untuk dana kependudukan (UN Population Fund), dan sepertiganya diakhiri di klinik-klinik aborsi gelap.
Filipina memiliki populasi 94 juta orang dan salah satu tingkat kelahiran tertinggi di Asia.
Edwin Lacierda, juru bicara Presiden Benigno Aquino III, mengatakan pemerintah yakin akan dapat mempertahankan undang-undang tersebut.
Aquino mengambil risiko berseteru dengan gereja dan para politisi yang didukung gereja untuk mensponsori undang-undang dan lobi untuk pengesahannya. Aquino menandatangani undang-undang itu Desember, dan Departemen Kesehatan minggu lalu membuat rancangan dan menyetujui peraturan-peraturan pelaksananya, supaya dapat segera diberlakukan.
Undang-undang tersebut mewajibkan pusat-pusat kesehatan untuk menyediakan akses universal dan gratis untuk hampir setiap alat kontrasepsi untuk siapa saja, terutama warga termiskin, yang mencakup sepertiga dari populasi. Sejauh ini, akses tersebut masih belum merata, mahal dan terhambat kemauan politik pemerintah daerah. Beberapa walikota bahkan melarang distribusi kondom gratis di wilayah mereka.
Undang-undang ini juga mewajibkan pendidikan seks di sekolah-sekolah negeri.
Pemerintah telah berkompromi untuk menghormati gereja, menurut Mellisa Upreti, direktur regional untuk Asia pada Pusat Hak-Hak Reproduksi yang berpusat di AS.
Pemerintah tidak melegalisasi semua kontrasepsi, termasuk kontrasepsi darurat, dan undang-undang mengizinkan rumah sakit swasta dan yang berafiliasi dengan organisasi agama untuk menolak memberikan layanan kesehatan reproduksi berdasarkan keberatan moral dan teologis, tulis Upreti di surat kabar Guardian, Selasa.
Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola organisasi Katolik merupakan salah satu penyedia utama layanan kesehatan di Filipina. (AP)
Undang-Undang Orangtua Bertanggung Jawab disetujui oleh para pembuat undang-undang akhir tahun lalu meski ada tentangan gereja. Namun sejumlah pemohon kepada Mahkamah Agung mempertanyakan legalitasnya dalam beberapa hal, dengan mengatakan peraturan tersebut menghina keyakinan agama dan mendorong aborsi, yang masih ilegal di negara tersebut.
Dengan keputusan 15-5 yang berpihak pada 10 permohonan terpisah Selasa (19/3), para hakim agung menghentikan pelaksanaan undang-undang tersebut sampai 18 Juni, ketika kedua pihak memperdebatkan kasusnya di pengadilan, ujar Theodore Te, juru bicara Mahkamah Agung.
Para pemimpin umat Katolik menganggap undang-undang tersebut sebuah serangan terhadap nilai-nilai inti gereja dan mengatakan aturan itu mendorong perzinahan dan menghancurkan kehidupan. Pemerintah mengatakan aturan itu membantu warga miskin mengatur jumlah anak dan memberikan layanan kesehatan ibu.
Hampir setengah dari kehamilan di Filipina tidak diinginkan, menurut badan Perserikatan PBB untuk dana kependudukan (UN Population Fund), dan sepertiganya diakhiri di klinik-klinik aborsi gelap.
Filipina memiliki populasi 94 juta orang dan salah satu tingkat kelahiran tertinggi di Asia.
Edwin Lacierda, juru bicara Presiden Benigno Aquino III, mengatakan pemerintah yakin akan dapat mempertahankan undang-undang tersebut.
Aquino mengambil risiko berseteru dengan gereja dan para politisi yang didukung gereja untuk mensponsori undang-undang dan lobi untuk pengesahannya. Aquino menandatangani undang-undang itu Desember, dan Departemen Kesehatan minggu lalu membuat rancangan dan menyetujui peraturan-peraturan pelaksananya, supaya dapat segera diberlakukan.
Undang-undang tersebut mewajibkan pusat-pusat kesehatan untuk menyediakan akses universal dan gratis untuk hampir setiap alat kontrasepsi untuk siapa saja, terutama warga termiskin, yang mencakup sepertiga dari populasi. Sejauh ini, akses tersebut masih belum merata, mahal dan terhambat kemauan politik pemerintah daerah. Beberapa walikota bahkan melarang distribusi kondom gratis di wilayah mereka.
Undang-undang ini juga mewajibkan pendidikan seks di sekolah-sekolah negeri.
Pemerintah telah berkompromi untuk menghormati gereja, menurut Mellisa Upreti, direktur regional untuk Asia pada Pusat Hak-Hak Reproduksi yang berpusat di AS.
Pemerintah tidak melegalisasi semua kontrasepsi, termasuk kontrasepsi darurat, dan undang-undang mengizinkan rumah sakit swasta dan yang berafiliasi dengan organisasi agama untuk menolak memberikan layanan kesehatan reproduksi berdasarkan keberatan moral dan teologis, tulis Upreti di surat kabar Guardian, Selasa.
Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola organisasi Katolik merupakan salah satu penyedia utama layanan kesehatan di Filipina. (AP)