Mahkamah Rakyat Internasional Serukan Akuntabilitas Terkait Protes 2019 di Iran

Seorang perempu Iran menyembunyikan identitasnya, saat memberikan kesaksian melalui video langsung dari Iran, 10 November 2021, di hadapan pengadilan rakyat internasional yang berbasis di London, 10 November 2021. (VOA Persia/Ramin Haghjoo)

Iran menghadapi pengawasan lagi atas penindakan mautnya terhadap protes nasional tahun 2019, sewaktu sebuah mahkamah di London yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi HAM hari Rabu mulai mendengar kesaksian kerabat dari korban yang tewas dan pihak-pihak lain terkait kejahatan yang dilakukan dalam penindakan itu.

Acara yang dikenal sebagai mahkamah rakyat internasional itu dibuka di balai sidang Church House di London. Tujuannya adalah menyelidiki dugaan kekejaman Iran, termasuk dugaan pembunuhan ratusan demonstran oleh pasukan keamanan dan cederanya ribuan lainnya dalam protes November 2019.

Sebuah panel pakar hukum HAM dan hubungan internasional dari Inggris, Indonesia, Libya, Afrika Selatan dan AS, memimpin hari pertama sidang, yang dijadwalkan berlangsung hingga Minggu. Dengar keterangan itu diselenggarakan oleh tiga organisasi HAM, yang mencakup Justice for Iran yang berbasis di London, Iran Human Rights yang bermarkas di Oslo, dan Together against Death Penalty yang berbasis di Paris.

Dalam wawancara dengan VOA dari lokasi, salah seorang pengacara mahkamah Hamid Sabi mengatakan para panelis akan mendengar pernyataan dari sekitar 160 saksi mata yang ia dan rekannya Regina Paulose, verifikasi dalam kegiatan lima hari itu.

Peran pengacara itu adalah mengumpulkan bukti dari para saksi dan menyerahkannya kepada para panelis mahkamah. “Kami memberikan prioritas pemberian pernyataan dari keluarga korban yang tewas, cedera atau ditahan,” kata Sabi. “Kami juga memprioritaskan kesaksian dari para saksi mata penindakan itu,” lanjutnya.

Pengadilan rakyat internasional atas dugaan kekejaman Iran dalam tindakan keras November 2019, di pusat konferensi Church House London, 10 November 2021. (VOA Persia)

Kebijakan pemerintah Iran memicu demonstrasi nasional pada 15 November 2019, karena memerintahkan kenaikan 50 persen harga bensin bersubsidi, yang semakin membebani keuangan rakyat Iran yang menghadapi tingkat pengangguran dan inflasi tinggi di tengah ekonomi yang menyusut karena sanksi-sanksi berat AS. Para aktivis HAM telah menyatakan bahwa pasukan keamanan Iran membunuh ratusan orang dan menangkap ribuan lainnya sewaktu menumpas protes yang kebanyakan berlangsung damai, di mana sebagian orang juga merusak bangunan-bangunan umum dan tempat-tempat usaha.

Dalam satu-satunya pernyataan mengenai banyaknya korban hingga sekarang ini, Menteri Dalam Negeri ketika itu, Abdolreza Rahmani Fazli, mengatakan kepada televisi pemerintah pada Mei 2020 bahwa jumlah korban tewas sekitar 200 orang.

Nahid Shirbisheh, yang putranya yang berusia 27 tahun, Pouya Bakhtiari, tewas akibat tembakan di kepala sewaktu berunjuk rasa di Karaj, kota di Iran Utara, berbicara kepada panel itu melalui video dari Iran. Shirbisheh mengatakan ia dan anggota keluarganya telah berulang kali diintimidasi dan ditahan pihak berwenang Iran sebagai pembalasan atas kampanye terbukanya menuntut keadilan bagi Pouya. Ia mengatakan mantan suaminya yang juga ayah Pouya, Manouchehr Bakhtiari, sekarang ini dipenjarakan karena aktivitasnya.

Pengacara hak asasi manusia yang berbasis di London, Hamid Sabi (tengah), berbicara di London, 10 November 2021, sebagai penasihat pengadilan yang menyelidiki penindasan keras Iran terhadap protes oposisi pada November 2019. (VOA Persia)

Aktivis HAM Iran Masih Alinejad, pembawa acara Tablet TV di VOA, memberi kesaksian langsung di mahkamah. Ia mengatakan ia juga mendengar dari berbagai sumber di Iran bahwa pihak berwenang telah mengganggu kerabat demonstran yang tewas, termasuk dengan menguburkan mereka di tempat-tempat terpencil.

Pada awal sidang hari Senin, para panelis mengatakan mereka telah mengirimkan surat kepada 133 pejabat Iran, termasuk Pemimpin Agung Ayatullah Ali Khamenei, menuduh mereka melakukan pelanggaran berat HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam menumpas protes tahun 2019. Surat itu mengundang para pejabat untuk memberikan bukti dalam pembelaan mereka, tetapi tidak ada tanggapan sejauh ini, kata para panelis.

Amnesty International, yang berbasis di London, dijadwalkan mengajukan temuan-temuan terbarunya mengenai penindakan keras Iran terhadap protes November 2019 itu ke mahkamah pada hari Kamis. Direktur Amnesty untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, Heba Morayef, mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada VOA hari Rabu bahwa mahkamah ini merupakan langkah sangat penting untuk mengakhiri impunitas orang-orang Iran yang diduga melakukan kekejaman itu. [uh/ab]