Jalanan di China sudah kembali hening setelah Beijing mulai melonggarkan pembatasan terkait COVID-19. Namun, video unjuk rasa di China dan luar negeri beberapa waktu yang lalu menunjukkan para pengunjuk rasa memegang lembaran kertas kosong berwarna putih.
Pakar China Perry Link menjelaskan makna dari apa yang disebut sebagian pihak sebagai “revolusi kertas putih.”
“Tujuan utamanya adalah untuk memprotes otoritarianisme," katanya.
Di lingkungan yang represif, kertas kosong itu menjadi alat untuk mengomunikasikan apa yang ingin disampaikan oleh para pengunjuk rasa namun tidak bisa mereka suarakan, kata aktivis HAM Yang Jianli.
“Di bawah tekanan politik dan ancaman tinggi, orang-orang tidak mengungkapkan (perasaan) dengan kata-kata, tapi mereka saling memahami satu sama lain. Ketika melihat orang lain turun ke jalan, mereka tahu apa yang ingin kami katakan hanya dengan memandang. Kesepahaman dan kekuatan yang muncul dari aksi ini sulit diungkapkan di bawah tekanan politik yang tinggi, namun itu semua dapat diungkapkan lewat secarik kertas putih. Kertas itu begitu ekspresif, mudah disebarkan, dengan risiko dan ongkos yang rendah," paparnya.
Gelombang unjuk rasa di China belum lama ini merupakan kegiatan anti-pemerintahan terbesar yang terjadi setelah puluhan tahun. Ketidakpuasan pada kebijakan nol-COVID yang menyebabkan lockdown berkepanjangan dan terjadi di mana-mana telah terpupuk selama berbulan-bulan.
Kemarahan itu memuncak setelah peristiwa kebakaran mematikan di sebuah apartemen di wilayah Xinjiang. Penduduk setempat mengatakan bahwa gedung hunian itu dikunci karena pembatasan COVID dan membuat para penghuni terjebak.
Warga di seantero China lantas turun ke jalan dengan ‘bersenjatakan’ lembaran kertas putih kosong.
“Aksi itu sangat artikulatif dalam artian siapa pun dapat menyimpulkan maknanya, serta defensif karena kalau polisi datang dan mengatakan, ‘Hei, apa kamu bilang?’ saya tidak bilang apa-apa. Tidak ada kata-kata yang bisa Anda tuduhkan kepada saya," kata Perry Link.
Menyusul gelombang unjuk rasa itu, China mengumumkan pelonggaran pembatasan.
“Kekuatan akar rumput untuk memengaruhi kebijakan nyatanya berhasil dilakukan lewat cara sederhana ini," tambahnya.
BACA JUGA: China Longgarkan Lebih Jauh Kebijakan COVID, WHO Sambut BaikNamun, perbedaan pendapat juga dengan cepat dihilangkan lewat penyensoran media dan penangkapan.
Kalaupun masyarakat China tidak berbondong-bondong memprotes kebijakan COVID, masalah lain yang dapat memicu ketidakpuasan masyarakat bisa muncul.
“Cepat atau lambat, faktor pemicu lain akan muncul. Yang paling mungkin menjadi pemicu adalah kondisi ekonomi," kata Perry Link.
Tenaga kerja muda di China tengah menghadapi tingkat pengangguran yang hampir mencapai angka 20%.
Pemicu apa pun yang muncul, para pengamat meyakini sekarang sebagian warga China tak akan ragu untuk menentang pemerintah dengan kekuatan lembaran kertas kosong. [rd/jm]