Presiden Joko Widodo mengklaim Indonesia bisa menangani permasalahan karhutla lebih baik dibandingkan beberapa tahun silam. Ia juga menggarisbawahi bahwa bencana karhutla pada tahun ini lebih disebabkan oleh El-Nino atau musim kemarau panjang yang lebih panas dari biasanya, dan insiden itu tak hanya terjadi di Indonesia.
“Tidak hanya di Indonesia kebakaran hutan itu terjadi, di Amerika, di Kanada dan kita di sini masih bisa mengendalikan dengan baik. Coba bandingkan dengan yang 2015, masih jauh sekali,” ungkap Jokowi, di Jakarta, Sabtu (7/10).
Berbeda dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang membantah adanya kabut asap lintas batas (transboundary haze) ke negeri tetangga Singapura dan Malaysia, Jokowi mengatakan potensi tersebut pasti tetap ada. Maka dari itu, ia menginstruksikan jajaran terkait untuk segera memadamkan semua titik-titik api yang ada.
“Tapi memang dampak kebakaran itu pasti mengeluarkan asap, dan asapnya kalau terkena angin bisa kemana-mana. Yang paling penting saya sudah perintah kepada Panglima TNI dan Kapolri serta pemda untuk segera menangani sekecil apapun titik api harus segera ditangani sehingga tidak membesar,” tambahnya.
Tak Lakukan Pencegahan dan Mitigasi Karhutla
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan perbandingan peristiwa karhutla yang disebut Jokowi antara 2015 dengan 2023 hanya membandingkan bencana yang buruk dengan yang lebih buruk. Artinya, kata Iqbal, tidak ada perbaikan yang signifikan dari upaya penanganan karhutla tersebut di Tanah Air.
Ia menjelaskan, seharusnya permasalahan karhutla ini bisa diantisipasi oleh pemerintah karena indikator karhutla ini merupakan suatu hal yang sangat bisa diprediksi. Ia menambahkan setidaknya dari 2019 hingga 2022 setiap tahunnya hampir 300 ribu hektare selalu terbakar.
“Predictable-nya bukan cuma El-Ninonya, tapi lokasinya juga. Kita sudah tahu pasti lokasinya itu ada di Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, ini adalah lokasi yang terbakar setiap tahun. Bahkan titiknya sudah terprediksi, maksudnya ini adalah repeatedly burn area, area yang terus berulang terbakarnya. Artinya ada indikator yang benar-benar bisa menunjukkan dimana kebakaran dan seberapa besar kebakarannya,” ungkap Iqbal.
BACA JUGA: Malaysia Tuding Indonesia Sebagai Penyebab Kabut Asap dan Polusi UdaraMeski bisa terprediksi dengan baik, peristiwa kahutla tetap terjadi setiap tahunnya. Hal ini, kata Iqba, disebabkan tidak adanya ketegasan dari pemerintah terhadap perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang ada di wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG) untuk bisa mengembalikan wilayah gambut yang rusak tersebut ke fungsi awalnya.
“Jadi kalau ini terus terjadi, tentu akan berulang-ulang kalau fungsi gambutnya tidak dikembalikan ke fungsi awal. Gambut itu pada model ekosistemnya, ekosistem basah, dia harus terendam, jadi begitu kering dia akan mudah terbakar. Jadi selama dia tidak kembali kepada ekosistem awalnya, Indonesia akan begini-begini terus dan akan hampir setiap tahun terbakar dan bisa dibilang tiga tahun atau empat tahun sekali kita akan mengrimkan asap ke Malaysia dan Singapura,” jelasnya.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak-pihak yang memadamkan api seperti BNPB dan komunitas masyarakat lainnya, Iqbal menekankan seharusnya pemerintah bukan berperan sebagai pemadam kebakaran, melainkan harus bisa mencegah agar kebakaran hutan dan lahan tersebut tidak terjadi.
“Pemerintah bisa bilang ke perusahaan, ini daya tampunng gambutnya sudah tidak bisa, jadi cukup sampai di sini, lakukan intensifikasi, jangan ekstensifikasi lahan, itu clear banget. Bisa tidak pemerintah bikin itu? Bisa banget, karena kan pemerintah yang menentukan berapa luasan konsensi yang diberikan dan mana yang tidak boleh. Jadi tanpa mengeluarkan dana, pemerintah bisa melakukan pencegahan itu dengan cara apa? Ya memaksa perusahaan untuk menciutkan wilayah konsesinya di wilayah yang akan merusak gambut,” tambahnya.
Namun faktanya, kata Iqbal, pemerintah masih tetap memberikan HGU-HGU baru pada wilayah gambut yang seharusnya sudah tidak bisa diolah lagi.
“HGU sudah disetujui di wilayah itu, Jadi sudah tahu rusak, sebagian KHG sudah dimiliki oleh perusahaan HTI, lalu kemudian ada izin usaha perkebunan d isitu, dan masih saja diberikan ruang untuk mengurus HGU. Harusnya stop, dan kita tahu produksi sawit kita sebenarnya saat ini sudah lebih banyak ekspor. Jadi artinya secara ekonomi mustinya sudah bisa menahan untuk melakukan ekstensifikasi lahan,” pungkasnya. [gi/ah]