Malaysia mengatakan pada Sabtu (8/4) bahwa pihaknya berkomitmen kuat untuk melindungi hak kedaulatan dan kepentingannya di Laut China Selatan. Komitmen itu mencuat setelah Beijing menyatakan keprihatinannya terkait proyek energi Malaysia yang dilakukan di wilayah sengketa, bagian laut yang diklaim sebagai teritori China.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan pada Selasa (4/4) bahwa China khawatir tentang aktivitas BUMN migas Malaysia, Petronas, di bagian Laut China Selatan yang menurut Malaysia adalah wilayahnya.
Anwar mengatakan dia terbuka untuk melakukan negosiasi dengan China terkait hal itu. Namun pernyataan tersebut menuai kritik dari pihak oposisi, yang mengatakan Anwar mempertaruhkan kedaulatan Malaysia.
Kementerian Luar Negeri menegaskan dalam pernyataan pada Sabtu (8/4), bahwa komentar Anwar tersebut menyiratkan keinginan Malaysia untuk menyelesaikan semua masalah terkait Laut China Selatan dengan cara damai dan tanpa mengorbankan posisi negaranya.
BACA JUGA: Malaysia Terbuka untuk Bahas Sengketa Laut China Selatan dengan China“Pemerintah Malaysia secara tegas dan tegas berkomitmen untuk melindungi kedaulatan, hak kedaulatan, dan kepentingan Malaysia di wilayah maritimnya di Laut China Selatan,” kata kementerian itu.
China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan sebagai wilayah kedaulatannya. Letak laut tersebut sangat strategis karena dilalui kapal-kapal dagang bernilai sekitar $3 triliun setiap tahunnya. Namun sejumlah negara seperti Malaysia, Brunei, Filipina, Taiwan, dan Vietnam saling mengklaim kepemilikan atas wilayah tersebut.
Petronas mengoperasikan ladang migas di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia dan dalam beberapa tahun terakhir perusahaan itu beberapa kali bertemu dengan kapal-kapal China.
China menegaskan klaim teritorinya itu dengan merujuk pada "sembilan garis putus-putus" pada petanya, yang melingkar sejauh 1.500 km di selatan daratannya, memotong ZEE Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
Mahkamah Arbitrase Internasional, bagaimanapun, telah memutuskan pada 2016 bahwa sembilan garis putus-putus yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum. [ah]