Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan pada hari Senin (3/4) bahwa negaranya siap bernegosiasi dengan Beijing terkait sengketa wilayah yang masih berlangsung di Laut China Selatan.
China mengklaim menguasai seluruh wilayah Laut China Selatan, jalur utama yang dilalui perdagangan senilai $3 triliun (sekitar Rp44.778 triliun) setiap tahunnya. Meski demikian, Malaysia, Brunei, Filipina, Taiwan dan Vietnam juga saling mengklaim jalur tersebut. Amerika Serikat secara rutin mengirim kapal angkatan lautnya ke perairan tersebut untuk memastikan kebebasan navigasi di wilayah perairan internasional.
Putusan arbitrase internasional pada 2016 mengatakan bahwa klaim Beijing tidak memiliki dasar hukum. China menyatakan tidak mengakui keputusan tersebut.
Menurut kantor berita pemerintah Malaysia, Bernama, masalah itu diungkit dalam pertemuan antara Anwar dan Presiden China Xi Jinping pekan lalu (31/3). Anjungan minyak terbesar perusahaan energi milik pemerintah Malaysia, Petronas, berada di wilayah sengketa tersebut, demikian juga beberapa proyek eksplorasi yang ingin dijaga Anwar.
BACA JUGA: Presiden Filipina Bela Kehadiran Militer AS yang Ditentang ChinaDalam pidato di hadapan departemennya hari Senin (3/4), Anwar mengaku telah mengatakan kepada pemerintah China bahwa “Sebagai sebuah negara kecil yang memerlukan sumber daya minyak dan gas, kami harus melanjutkannya. Tapi apabila masalahnya adalah harus ada negosiasi” untuk melindungi proyek-proyek Malaysia, “maka kami siap bernegosiasi.”
Kelompok penelitian AS, Asia Maritime Transparency Initiative, melaporkan pada pekan lalu bahwa sebuah kapal penjaga pantai China beroperasi di dekat anjungan gas Petronas selama sebulan terakhir dan berjarak hanya sekitar 2,4 kilometer dari lokasi proyek. Satu kapal angkatan laut Malaysia juga berada di wilayah tersebut pada saat bersamaan, kata AMTI.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, mengatakan pada hari Senin (3/4) bahwa China tidak mengetahui insiden tersebut, namun menyebut bahwa penjaga pantainya beroperasi di dalam yurisdiksi China dan tindakannya tidak tercela.
Dalam kaitannya dengan perkembangan di Laut China Selatan, pemerintah Filipina telah menentukan empat wilayah militer baru di mana pasukan AS akan diizinkan tinggal sampai waktu yang tidak ditentukan, meski China merasa sangat keberatan. Pangkalan-pangkalan itu juga akan digunakan untuk operasi kemanusiaan dan bantuan ketika terjadi bencana. Perluasan tersebut disetujui oleh Presiden Ferdinand Marcos Jr., di mana Filipina memberikan akses kepada AS sesuai Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan tahun 2014.
Tiga dari empat lokasi itu berada di Filipina utara, termasuk sebuah pangkalan angkatan laut, sebuah bandara dan sebuah kamp tentara. Pangkalan AL di provinsi Cagayan itu hanya berjarak 600 kilometer dari Taiwan.
BACA JUGA: Kabel Bawah Laut Jadi Sumber Ketegangan Baru dengan ChinaLokasi lainnya adalah sebuah kamp angkatan laut di Pulau Balabac, di provinsi Palawan yang terletak di barat negara itu. Pulau Palawan berhadapan langsung dengan Laut China Selatan.
Marcos mengatakan, langkah itu dapat meningkatkan pertahanan pesisir negaranya. Meski demikian, China tidak setuju atas keputusan itu.
Menurut para pejabat Filipina, seorang delegasi Kementerian Luar Negeri China menyampaikan sikapnya yang sangat menentang keputusan itu dalam sebuah pertemuan di Manila bulan lalu dan memperingatkan dampaknya terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan.
Selain itu, Kedutaan Besar China belum lama ini memperingatkan bahwa kerja sama keamanan pemerintah Filipina dengan AS “akan menyeret Filipina ke jurang perselisihan geopolitik dan pada akhirnya merusak pertumbuhan ekonominya.”
Di tengah meningkatnya ketegangan teritorial antara China dengan negara-negara terdekat, pemerintahan Marcos telah mengajukan sedikitnya 77 dari 200 protes diplomatik atas tindakan China di wilayah perairan yang disengketakan itu sejak ia mulai menjabat tahun lalu.
Amerika Serikat pernah memiliki dua pangkalan militer besar di Filipina, namun ditutup pada awal tahun 1990-an. [rd/lt]