Banyak orang Indonesia memandang durian sebagai rajanya buah-buahan. Meski dibenci banyak orang Barat karena baunya yang menyengat, buah ini sering dianggap tiada tandingannya dalam hal kelezatan.
Di Lubuklinggau, buah ini melimpah. Kota ini bahkan disebut-sebut sebagai salah satu penghasil durian terpenting di Indonesia. Beragam varian durian bisa ditemukan di sana. Sampai-sampai warga kota itu sering sesumbar, “Jangan mengaku pecinta durian jika belum mampir di Lubuklinggau.”
Paling tidak pernyataan tersebut dilontarkan Yetti Oktarina Prana, istri mantan wali kota Lubuklinggau. Perempuan yang akrab dipanggil Rina ini mengatakan, lokasi Lubuklinggau yang strategis, yang berfungsi sebagai pusat transit penting yang menghubungkan provinsi Sumatera Selatan, provinsi Bengkulu, dan provinsi Lampung ke provinsi-provinsi lain di Sumatera, menjamin pasokan durian kota ini sepanjang tahun.
“Kita ini seperti kota dagang, yang menyangga beberapa kabupaten dan kota di sekitar kita. Sampai-sampai hampir semua buah durian dengan kualitas terbaik dari kabupaten atau kota terdekat dijual di Lubuklinggau. Di sini mereka bisa menjual dengan harga lebih tinggi,” kata Rina.
Bagi Rina, durian sendiri tidak hanya sebagai buah kebanggaan kotanya, tapi juga sumber inspirasinya. Durianlah yang membuatnya memiliki ide mengembangkan batik, sesuatu yang tidak umum di provinsi yang lebih dikenal dengan kain tenunnya, seperti songket dan ulos.
Idenya mengembangkan batik muncul tidak lama setelah ia menduduki jabatan ketua Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Daerah dan Dewan Kerajinan Nasional tingkat Daerah (Dekranasda) Lubuklinggau – jabatan yang diembannya sehubungan posisi suaminya, Prana Putra Sohe, sebagai wali kota Lubuklinggau. Sepanjang suaminya menjadi wali kota, Rina menjabat posisi itu dari tahun 2013 hingga tahun 2023.
Sebagai istri wali kota Lubuklinggau, Rina ingin membuat kota itu – yang pada tahun 2013 terbilang baru karena merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Musi Rawas -- memiliki ciri khas yang menjadi sumber kebanggaan dan identitas dan bahkan membuat orang tertarik datang ke kota tersebut.
Dan, karena Rina adalah kolektor wastra nusantara, ia pun banyak melakukan penelitian tentang batik dan tenun dari Palembang dan berbagai daerah di Sumatera. Tetapi pada akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada batik, mengingat proses produksinya lebih cepat dibandingkan dengan tenun dan permintaannya juga relatif tinggi sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Fokus Rina untuk mengembangkan batik juga dipengaruhi oleh kreativitas rekannya, seorang istri seorang kepala daerah lain, yang mengembangkan batik kopi. Namun dalam pandangan Rina, kopi bukan produk khas kotanya dan secara visual kurang menarik. Rina lantas memikirkan durian, yang secara visual lebih mudah dikenal orang dan menjadi buah kebanggaan kotanya. Ia pun bertekad mengembangkan Batik Durian.
“Harapan saya ke depannya, menjadi sesuatu yang dicari orang. Saya bayangkan, jika orang ke Padang cari bordir, ke Solo, Yogyakarta, dan Cirebon cari batik, ke Palembang cari songket, ke Lubuklinggau cari Batik Durian.”
Lubuklinggau tidak memiliki sejarah batik sehingga sama sekali tidak ada perajin batik di sana. Namun fakta tersebut tidak menghalangi Rina untuk mengembangkan Batik Durian. Dibantu para perajin batik asal Pekalongan, Jawa Tengah, ia menciptakan Batik Durian pertamanya pada tahun 2013. Setelah itu, ia mengirimkan seniman dan perajin asal Lubuklinggau yang ingin belajar seni membatik ke Yogyakarta untuk mempelajarinya dari ahlinya.
Orang-orang yang dikirim Rina tidak hanya belajar di sentra batik Yogyakarta, tetapi juga menginap di rumah para perajin batik setempat, sehingga mempercepat penyerapan ilmu dan keterampilan membatik.
Para perajin batik yang baru dilatih ini kemudian mewariskan keahliannya kepada rekan-rekan mereka yang lebih junior di Lubuklinggau, kata alumnus akuntansi Universitas Jayabaya, Jakarta, itu.
Batik Durian kian mendapat perhatian, setelah putra remaja Rina yang sedang belajar di Jakarta memperkenalkannya kepada ibu teman sekolahnya, Jenny Yohana Kansil, seorang perancang busana terkemuka dan pendiri sekolah mode Istituto di Moda Burgo Indonesia.
Pada pertengahan tahun 2020, Jenny akhirnya mengundang Rina ke Jakarta untuk mengenal lebih jauh Batik Durian setelah sekian lama berkomunikasi via Instagram.
Rina awalnya merasa kurang percaya diri untuk memperkenalkan Batik Durian kepada Jenny karena menganggapnya masih dalam tahap embrio. Namun, Jenny berpendapat lain, dan malah memuji kualitas serta desainnya.
“Ketika pertama kali melihat Batik Durian, batik ini sepertinya langsung ignite my creativity. Saya gampang sekali bekerja dengan batik ini,” ungkapnya.
Apalagi kemudian Jenny ternyata satu pemahaman dengan Rina yang ingin agar Batik Durian disukai anak muda dan tampil moderen. “Well, karena sifat dan karakternya revolusioner, kekinian dan unik, jadi gampang buat saya untuk memanfaatkannya dalam rancangan-rancangan saya.”
Jeny kemudian menantang Rina untuk menyertakan Batik Durian dalam peragaan busana di Milan. Syarat Jenny hanyalah Batik Durian harus dibuat dari 100 persen bahan alami dan 100 persen pewarna alami.
Rina kemudian meneliti bahan-bahan alami dari Lubuklinggau yang bisa dijadikan pewarna alami. Ia menemukan bahwa pinang dan jengkol, yang banyak terdapat di kota ini, dapat dibuat menjadi pewarna alami sehingga menghasilkan warna yang kaya dan bersahaja. Namun menerapkan pewarna alami pada kain alami bukanlah persoalan mudah.
Upaya pertama mereka untuk mewarnai kain yang komposisinya 100 persen sutra dengan pewarna alami ini berakhir dengan kerusakan. Rina akhirnya mengirim beberapa perajin batik ke Cirebon untuk menguasai seni pewarnaan alami batik.
Usaha Rina yang tiada henti membuahkan hasil. Koleksi Jenny yang menampilkan Batik Durian dalam gaya punk mendapat sambutan hangat di Emerging Talents Milan Fashion Show 2021.
Sang desainer bahkan mendapatkan penghargaan bergengsi “Genius of Gianni Versace” saat kembali memamerkan Batik Durian di Milan pada tahun berikutnya, 2022. Di tahun kedua tersebut, Jenny menampilkan Batik Durian dalam gaya sporty.
“Saya sampai terharu banget, karena saya dengar sendiri seorang desainer senior yang menghadiri peragaan di Milan yang mengatakan, ‘Saya tak menyangka, batik bisa digunakan untuk membuat desain semenarik ini.’”
Menurut Rina, Batik Durian melejit ke level baru setelah debut internasionalnya itu. Pesanan pun mulai berdatangan lebih cepat daripada yang bisa mereka tangani.
Seiring dengan pengakuan internasional terhadap Batik Durian, banyak pelajar dan ibu rumah tangga setempat yang mengikuti program pelatihan membatik di Lubuklinggau.
Saat ini, menurut Rina, di Lubuklinggau ada lima bengkel kerja batik yang beroperasi penuh dengan lebih dari 70 perajin yang sebagian besar perempuan. Jumlah itu akan bertambah dalam waktu dekat. Bengkel-bengkel tersebut sejauh ini memproduksi kurang lebih 500 potong batik setiap bulannya dan selalu terjual habis.
Batik Durian saat ini tersedia di showroom Dekranasda di Lubuklinggau, showroom Kriya Sriwijaya di Palembang, serta butik-butik terpilih di Bali dan Malaysia.
Batik Durian tidak luput dari perhatian jurnalis fesyen Rai Rahman Indra yang akhirnya bersama Rina menulis buku yang diberi judul Batik Durian Lubuklinggau: Memperkaya Khazanah Batik Nusantara. Dirilis pada Oktober 2023, buku setebal 173 halaman ini menceritakan secara mendalam perjalanan Rina mengembangkan Batik Durian.
“Batik Durian lahir dari daerah bukan penghasil batik atau banyak perajin batiknya. Kita sendiri tahu, batik selama ini dikenal sebagai seni yang sangat khas Jawa. Nah, ketika Mbak Rina menggagaskan ide ini dan kemudian muncul kreativitas dan lahirlah para perajin batik, saya melihatnya ini sebuah hal yang luar biasa. Apalagi, Mbak Rina berhasil mengangkat kerajinan tersebut ke tingkat internasional di Milan.”
Menurut Rai, yang menarik dari batik durian adalah karena ketiadaan pakem yang mengikat.
“Batik Durian tidak mempunyai pakem yang memberatkan dan cenderung kotemporer. Batik Durian juga membuka diri untuk berkolaborasi dengan desainer untuk menciptakan baju yang juga kontemporer. Jadi ketika ditampikan di Milan, Batik Durian bukan lagi batik miliknya Mbak Rina, tapi desainnya itu international look.”
Rina membenarkan itu. “Tidak punya pakem itu bukan berarti batik durian loose sama sekali. Pakem yang saya maksud di sini adalah pakem batik jawa, seperti batik ini menggambarkan kesedihan, batik ini menggambarkan kegembiraan dan batik ini hanya boleh dipakai orang-orang tertentu. Bagi desainer Eropa atau Barat, ini merepotkan. Pernah ada desainer yang memilih batik berwarna cerah untuk menggambarkan keceriaan dalam desainnya, tapi ternyata pakem batik itu untuk kematian.”
Your browser doesn’t support HTML5
Jenny sendiri mengakui bahwa ketiadaan pakem ini memudahkan dirinya, dan mungkin juga perancang-perancang lainnya. “Bisa lebih leluasa, lebih fleksibel digunakan di desain manapun dan oleh siapapun.”
Setelah Batik Durian, Jenny mengaku ingin mengangkat wastra-wastra nusantara lainnya, dan saat ini perhatianya terfokus pada tenun ulos.
“Ke depannya kita ingin membuat campaign baru yang temanya wastra adalah kemewahan baru. Saya berusaha agar wastra menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dan itu menjadi sesuatu yang bisa kita banggakan.” [ab/uh]