Mantan Anggota Gafatar Menolak Dipulangkan

  • Nurhadi Sucahyo

Anggota organisasi Gafatar menyiapkan lahan pertanian di Kalimantan pada tahun 2013. (Foto: dok.)

Hingga saat ini, menurut juru bicara mantan anggota Gafatar, Wisnu Windhani, setidaknya sudah ada 9.750 orang mantan anggota Gafatar di seluruh Kalimantan.

Menurut rencana, pemerintah akan memulai proses pemulangan mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dari Kalimantan Barat pada akhir pekan ini. Namun ternyata, organisasi ini menolak rencana tersebut dan ingin tetap tinggal di Kalimantan.

Penolakan terhadap rencana pemulangan mantan anggota Gafatar ini disampaikan oleh juru bicara mereka, Wisnu Windhani kepada VOA. Wisnu menyatakan, mantan anggota Gafatar tidak pernah melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Para anggotanya, sejauh ini datang ke Kalimantan dengan tujuan hanya ingin menjadi petani. Karena itu, pihaknya menyayangkan perlakuan masyarakat kepada mereka, yang seolah menempatkan mantan anggota Gafatar sebagai warga negara yang tidak memiliki hak untuk hidup.

“Kami akan tetap menolak. Tidak ada ceritanya kami akan kembali, dipaksapun kami tidak mau. Kami akan tetap di sini. Karena apa? Karena kami sudah habis-habisan. Tahun kemarin kita sudah membelanjakan harta yang kita punya di daerah asal, untuk bisa bekerja di sini, untuk bisa bertani di sini. Kalau kami dipulangkan, kami akan menjadi homeless, kami menjadi tunawisma. Kami tidak punya tanah, tidak punya penghasilan, tidak punya lagi rumah di daerah asal kami, sudah habis semua di sini, di Kalimantan ini,” kata Wisnu Windhani.

Your browser doesn’t support HTML5

Mantan Anggota Gafatar Menolak Dipulangkan

Orang-orang ini meminta disebut sebagai mantan anggota Gafatar, karena organisasi itu sendiri sebenarnya sudah dibubarkan pada April 2015 lalu. Meski organisasinya dibubarkan, mereka tetap melakukan perpindahan dan menetap di Kalimantan secara berkelompok.

Hingga saat ini, menurut Wisnu, setidaknya sudah ada 9.750 orang mantan anggota Gafatar di seluruh Kalimantan. Wisnu mengaku khawatir dengan perkembangan yang terjadi, dan rencana pemulangan terhadap sekitar 1.500 anggota dari Kalimantan Barat, adalah sebuah permulaan dari nasib buruk mereka.

Jika boleh meminta kepada pemerintah, pilihan yang mereka terima adalah relokasi kemanapun asal tetap di Kalimantan. Mereka percaya, Indonesia ke depan akan mengalami kekurangan pangan, dan tugas mereka untuk menjadi petani demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Wisnu menyatakan, mantan anggota Gafatar berencana menjadikan Kalimantan sebagai lumbung pangan nasional.

Anggota Gafatar Kalimantan Timur menunjukkan hasil panen jagung mereka untuk program Gerakan Rumah Pangan Mandiri (RPM). (Foto: dok.)



“Dari kemarin kami memohon, direlokasi saja di Kalimantan yang sangat luas ini. Carilah daerah yang paling kosong di Kalimantan ini, yang paling jauh dari orang-orang tidak apa apa. Terpecil pun tidak apa apa. Kami hanya ingin bercocok tanam. Memenuhi pangan bangsa ini. Siapa sih yang makan padi kita, siapa yang yang makan sayur kita, siapa sih yang makan ikan-ikan kita, kalau tidak masyarakat semua,” imbuhnya.

Sekretaris Jendral Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda meminta kepada pemerintah untuk memberikan perlakukan khusus kepada anak-anak mantan anggota Gafatar ini. Dalam peristiwa pengusiran dan pembakaran rumah-rumah mereka hari Selasa (19/1) lalu, anak-anak mengalami peristiwa mencekam yang luar biasa. Setelah itu, mereka harus tinggal beberapa hari di penampungan, yang kondisinya juga tidak ramah bagi kejiwaan anak.

Karena itulah, tambah Erlinda, pemerintah harus memastikan terpenuhinya hak dasar anak, karena mereka tidak memahami sama sekali apa yang sebenarnya terjadi.

“Kita jangan merampas hak-hak anak, karena anak-anak ini sudah menjadi korban dan akan menjadi korban lagi. Pada dasarnya anak-anak ini adalah korban dari orang tua, korban dari masyarakat, korban dari sistem sosial, termasuk juga korban dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran negara, hadirnya pemerintah melalui intervensi-intervensi semacam ini,” kata Erlinda.

Jika proses pemulangan dapat dilakukan akhir pekan ini, KPAI meminta pemerintah menyediakan dokter anak dan ahli pendamping kejiwaan anak-anak. Mereka harus turut dalam perjalanan hingga ke penampungan sementara di Pulau Jawa, agar dapat memastikan tidak adanya tekanan luar biasa akibat mengabaikan kepentingan anak-anak dalam proses itu. [ns/jm]