Perhatian masyarakat kini tertuju pada pejabat negara yang hobi flexing atau memamerkan harta kekayaannya di media sosial. Banyak yang mempertanyakan bagaimana mungkin dengan gaji yang relatif kecil, aparatur sipil negara (ASN) bisa membeli barang yang harganya fantastis.
Menurut mantan kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002-2011 PPATK, Yunus Husen, sebenarnya perilaku para pejabat negara tersebut bisa dimanfaatkan aparat penegak hukum untuk membongkar dugaan adanya TPPU. Ia mengatakan, aparat bisa melakukan analisis gaya hidup para pejabat negara tersebut.
“(Kalau) dia suka flexing, itu bagus. itu pengakuan, dan itu bisa menjadi pendekatan dalam membongkar kasus pencucian uang , itu namanya lifestyle analysis. Jadi melihat lifestyle, lalu misalnya dia terbongkar ada sumber yang tidak sah. Kenapa bisa begini? Padahal gaji cuma sekian. Itu bagus, mereka bisa hedon ya biarkan saja, itu pengakuan, penegak hukum harus manfaatkan, menganalisis dari situ dan bisa dipakai untuk membongkar kasus yang seperti terjadi belakangan ini,” ungkap Yunus.
Lebih jauh Yunus menjelaskan selama ini, identifikasi terhadap berbagai transaksi mencurigakan dilakukan berdasarkan laporan dari berbagai pihak seperti penyedia jasa keuangan, penyedia jasa barang dan jasa, advokat, notaris, dan akuntan. Dari laporan-laporan tersebutlah, kata Yunus, PPATK melakukan pendalaman untuk memastikan apakah ada tindak pidana.
“Yang didalami biasanya yang besar-besar jumlahnya, menyangkut penyelenggaraan negara, terkait kasus yang sedang berjalan, dan yang diserahkan kepada instansi penegak hukum itu laporan hasil analisis atau laporan hasil pemeriksaan,” tuturnya.
Lebih jauh, Yunus mengatakan selanjutnya bola berada di tangan penyidik, apakah memang laporan hasil analisis dari PPATK tersebut membuktikan adanya indikasi pelanggaran tindak pidana termasuk TPPU.
“Bukan PPATK yang mengatakan ini pasti TPPU, bukan. Tapi penyidik lah setelah melalui proses yang namanya penyelidikan, ada dua bukti permulaan yang menyatakan ada tindak pidana dan ada pelakunya. Dan kalau selesai di sini, silahkan kasih ke kejaksaan untuk di bawa ke pengadilan,” jelasnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester juga mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut tindak pidana korupsi bersamaan dengan dengan pencucian uang. Menurutnya kedua hal tersebut sangat berkaitan erat.
“Setiap tahunnya ICW itu mengeluarkan apa yang kami sebut sebagai tren vonis kasus korupsi. Jadi kami memantau putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana korupsi dan tentu saja didalamnya karena tipikor sendiri merupakan salah satu jenis tindak pidana asal dari TPPU, otomatis TPPU juga jadi salah satu objek yang terpantau,” ungkap Lola.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun sayangnya, kata Lola, dalam kurun lima tahun terakhir penggunaan instrumen TPPU oleh aparat penegak hukum dalam kasus tindak pidana korupsi kurang dari dua persen. Padahal, menurutnya, korupsi erat kaitannya dengan pencucian uang.
Lola berharap, aparat penegak hukum ke depannya memasukkan instrumen pencucian uang ke dalam kasus tindak pidana korupsi. Iaa juga berharap RUU Perampasan Aset bisa segera disahkan agarhukum bisa lebih ditegakan.
“Penyelidikan tindak pidana korupsi harus dibarengi penyelidikan pencucian uang. Poin itu yang selalu kami ulang, meski hasilnya belum tentu terlihat,” pungkasnya. [gi/ab]