Henry Kissinger, yang meninggal pada Rabu (29/11) dalam usia 100 tahun, melambangkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) selama pemerintahan Nixon dan Ford. Ia memang menjabat sebagai menteri luar negeri di bawah kedua presiden tersebut. Kissinger dipuji karena keberhasilan diplomatiknya, tetapi juga diselimuti kontroversi karena pandangan politiknya yang penuh perhitungan terhadap dunia.
Kematiannya diumumkan oleh perusahaan konsultannya dan belum ada informasi tentang penyebab kematiannya.
Dikenal sebagai cendekiawan, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, dan pengungsi terkemuka ke AS, Kissinger menjadi ikon budaya, yang menginspirasi banyak biografi – baik yang menguntungkan maupun tidak – dan disindir oleh orang-orang seperti Monty Python.
Pemikir konservatif ini membantu merekayasa sejumlah keberhasilan diplomatik, termasuk pemulihan hubungan dengan China dan redanya permusuhan dengan Uni Soviet. Dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian bersama dengan Le Duc Tho dari Vietnam Utara atas upaya mereka menegosiasikan berakhirnya Perang Vietnam.
BACA JUGA: Rosalynn Carter: Ibu Negara di Ruang Politik AmerikaKissinger juga memiliki banyak pencapaian di Timur Tengah, termasuk menegosiasikan Perjanjian Sinai 1975 antara Mesir dan Israel. Dia bekerja untuk memajukan proses perdamaian Arab-Israel yang lebih luas dalam upaya yang dikenal sebagai "diplomasi tidak langsung yang menggunakan mediator.”
Terlepas dari prestasinya di seluruh dunia, Kissinger adalah sosok yang kontroversial. Para kritikus menuduhnya sebagai tokoh yang mengizinkan pengeboman karpet di Kamboja, mendukung tindakan keras Pakistan di Bangladesh, dan tidak berbuat banyak untuk menghentikan kampanye Argentina terhadap para pembangkang.
Kehidupan Awal
Terlahir dengan nama Heinz Kissinger di Furth, Jerman, ia tiba di AS pada 1938 saat usia 15 tahun, setelah keluarganya melarikan diri dari penganiayaan Nazi terhadap orang Yahudi. Keluarganya berbicara menggunakan bahasa Inggris di rumah, dan Heinz dikenal sebagai Henry, yang kemudian menjadi warga negara AS lewat proses naturalisasi.
Kissinger kembali ke Eropa saat Perang Dunia II sebagai anggota Angkatan Darat AS di Divisi Infanteri ke-84.
"Saya mengenang tahun-tahun itu dengan penuh kebanggaan," kata Kissinger kepada koran Chicago Tribune ketika dia berusia 80-an. "Perang Dunia II adalah perang tanpa ambiguitas moral."
Setelah perang, Kissinger mendaftar di Harvard dengan menggunakan G.I. Bill, dan meraih gelar sarjana, magister, dan doktoral dari universitas tersebut. Ia kemudian bergabung dengan fakultas di sana.
G.I. Bill adalah program bantuan bagi veteran AS.
Tidak diragukan lagi jika pandangan Kissinger tentang kebijakan luar negeri dibentuk oleh pengalamannya ketika melarikan diri dari Nazi Jerman. Dia dikenal dengan "politik sesungguhnya" yang fokus pada pengambilan keputusan diplomatik praktis, bukan pada kerangka kerja moral.
Ketika ditanya oleh The New York Times pada 1974 tentang rasa pesimisme dan bahkan tragedi dalam tulisan-tulisan politiknya, Kissinger menjawab, "Saya menganggap diri saya lebih sebagai seorang sejarawan dibanding seorang negarawan. Sebagai seorang sejarawan, Anda harus sadar akan fakta bahwa setiap peradaban yang pernah ada pada akhirnya akan runtuh."
"Sejarah adalah kisah tentang upaya yang gagal, tentang aspirasi yang tidak terwujud, tentang keinginan yang dipenuhi dan kemudian ternyata berbeda dari apa yang diharapkan," katanya.
BACA JUGA: Mengenang 60 Tahun Penembakan Presiden John F. KennedySetelah menjabat sebagai konsultan untuk badan-badan pemerintah AS selama pemerintahan Eisenhower, Kennedy, dan Johnson, Kissinger masuk ke Gedung Putih pada 1969, pada masa pemerintahan Nixon. Ia menjabat sebagai penasihat keamanan nasional dan kemudian menjadi menteri luar negeri dan berlanjut sebagai menteri luar negeri di bawah pemerintahan Presiden Gerald Ford.
Kissinger memiliki hubungan dekat dengan Presiden Richard Nixon dan memuji kolaborasi tersebut sebagai alasan utama keberhasilan kebijakan luar negeri mereka.
Pada 2009, Kissinger mengatakan kepada Newsweek, "Saya melihat presiden setiap hari ketika kami berdua berada di kota karena saya merasa sangat penting bagi kami untuk berpikir dengan cara yang sama. Saya beruntung. Saya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan dua presiden yang saya layani. Bahkan, jika kita melihat sejarah menteri luar negeri, hal ini jarang terjadi," katanya.
Kissinger dua kali melawat ke China, sebelum menemani Nixon dalam kunjungan terobosannya ke Beijing pada 1972 untuk bertemu dengan Ketua Partai Komunis, Mao Zedong. Dalam kunjungan tersebut, AS dan China meresmikan hubungan diplomatik yang terputus selama 23 tahun.
Kissinger dan Nixon juga bekerja sama untuk meredakan ketegangan dengan Uni Soviet, yang menghasilkan Pembicaraan Pembatasan Senjata Strategis (Strategic Arms Limitation Talks/SALT) serta Perjanjian Anti-Rudal Balistik (Anti-Ballistic Missile Treaty/ABM).
Diplomat senior AS ini menerima banyak penghargaan atas pencapaiannya. Selain Hadiah Nobel Perdamaian pada 1973, ia juga mendapatkan Presidential Medal of Freedom pada 1977, penghargaan tertinggi sipil Amerika Serikat.
Tokoh Kontroversial
Terlepas dari pencapaiannya, Kissinger telah menuai banyak kritik, sebagian besar berpusat pada tindakannya selama Perang Vietnam. Kissinger merahasiakan pengeboman AS di Kamboja dan Laos pada 1969 dan tidak memberi tahu Kongres atau masyarakat Amerika tentang hal itu. Tindakan Kissinger itu ikut memperburuk Perang Vietnam.
Dia juga diberi wewenang oleh Nixon untuk melakukan negosiasi rahasia dengan Vietnam Utara. Meskipun sebagai hasil dari negosiasi tersebut Kissinger akhirnya membantu menengahi Perjanjian Perdamaian Paris, para pengkritiknya mengatakan perundingan rahasia selama bertahun-tahun itu hanya memperpanjang perang.
BACA JUGA: Senator Dianne Feinstein Meninggal Dunia pada Usia 90 TahunKissinger juga dikritik karena perannya dalam konflik di seluruh dunia, termasuk perang saudara di Angola, yang berkembang menjadi medan perang Perang Dingin, dan keterlibatan AS di Chili, yang berujung pada kudeta pada 1973.
Meskipun Kissinger tetap menjabat sebagai menteri luar negeri setelah Nixon mengundurkan diri secara memalukan pada 1974, ia tidak luput dari skandal Watergate yang menjatuhkan Nixon dari jabatannya. Skandal ini mengungkapkan bahwa Kissinger telah memerintahkan FBI untuk menyadap anggota Dewan Keamanan Nasional untuk mengetahui siapa yang telah membocorkan berita pengeboman AS di Kamboja kepada media.
Pasca Gedung Putih
Setelah meninggalkan pemerintahan, Kissinger bekerja sebagai konsultan dan dosen internasional, serta penulis, menulis lebih dari selusin buku. Buku terakhirnya, "Leadership", diterbitkan ketika ia berusia 99 tahun.
Dia terus berbicara dan menulis tentang urusan luar negeri, bahkan memicu kontroversi pada Mei 2022 ketika dia berdebat di World Economic Forum di Davos, Swiss, bahwa Ukraina seharusnya menyerahkan wilayahnya yang berdamai dengan Rusia. Kissinger mengatakan kekalahan memalukan yang mungkin dialami Presiden Rusia Vladimir Putin akan memperburuk stabilitas jangka panjang Eropa.
Kissinger meninggalkan istri keduanya, Nancy, yang dinikahinya pada tahun 1974. Ia memiliki dua anak dari istri pertamanya, Ann Fleischer, dan lima cucu. [em/ft]